Monday 7 January 2013

ANALISA PASAL 103 KUHP sebagai PASAL Jembatan


Pasal 103 KUHP : “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Pasal 103 KUHP sering disebut atau di istilahkan sebagai pasal jembatan bagi peraturan atau undang-undang yag mengatur Hukum pidana diluar KUHP. Pasal 103 KUHP berada pada buku I Aturan Umum KUHP, yang memuat istilah-istilah yang sering digunakan dalam hukum pidana. Pasal ini menjembatani bahwa segala istilah/pengertian yang berada dalam bab I-VIII buku satu KUHP dapat digunakan apabila tidak diatur lain dalam undang-undang atau aturan-aturan yang mengatur tentang hukum pidana diluar KUHP. Misalnya tentang Percobaan dalam tindak pidana korupsi (UU No. 20 tahun 2001 jo UU no 31 tahun 1999 ttg Tindak Pidana Korupsi). UU tipikor tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan Percobaan dalam Tindak Pidana Korupsi, oleh karena itu maka kita dapat menggunakan pasal 53 KUHP tentang percobaan. Inilah tujuan dan penggunaan pasal jembatan pada pasal 103 KUHP, untuk menghindari timbulnya kekeliruan dalam penafsiran istilah-istilah yang digunakan dalam hukum pidana.

Memperhatikan betapa pentingnya pasal jembatan ini, penulis merasa ada suatu kekeliruan seiring berkembangnya Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu Hukum. Penulis merasa ada ketidak tepatan penempatan pasal ini dan juga penggunaannya. Berdasarkan analisa/opini penulis bahwa pasal ini penempatannya tidak tepat. Maksudnya bahwa pasal ini dalam beberapa KUHP memuat bahwa pasal ini merupakan aturan penutup, namun berada dalam Bab IX Buku Satu KUHP. Pertanyaanya apakah pasal 103 ini merupakan bagian dari Bab IX, maka pemberlakuan pasal ini tidak diatur apakah dapat digunakan karena dalam pasal ini yang diatur hanya pada Bab I-VIII aturan umum artinya Bab IX tidak ikut. Apakah ini terjadi karena perbedaan penafsiran yang mana KUHP asli Indonesia adalah WvS (bahasa Belanda)? Atau karena perkembangan ilmu pengetahuan perancangan Undang-undang. Yang mana aturan penutup atau aturan peralihan yang harusnya dimuat dalam bab tertentu (khusus). Jika pasal ini tidak dimuat dalam bab khusus maka pasal 103 KUHP pada IX tidak dapat dikatakan atau tidak tepat dikatakan sebagai pasal jembatan karena isi pasal 103 dan letak pasal ini bertolak belakang.

Kekurangan berikutnya pada penggunaan pasal ini, misalnya pada pasal 15 UU tipikor khusunya pada bagian pemufakatan jahat. Dalam undang-undang tipikor pemufakatan jahat tidak disebutkan/diatur apa yang dimaksud dengan pemufakatan jahat. Namun dalam pasal 15 tersebut hanya diatur bahwa pemufakatan jahat sama pidanaya dengan delik selesai. Hal ini menimbulkan kelemahan dan dapat menciptakan perbedaan penafsiran. Pengertian istilah pemufakatan jahat ternyata ada diatur dalam KUHP pada pasal 88 KUHP. Namun pertanyaannya apakah pengertian istilah ini dapat digunakan dalam hal tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU khusus. Harusnya bisa, namun yang menjadi masalah yaitu bahwa pasal jembatan yang sering digunkan ternyata tidak dapat berlaku. Mengapa?, karena pemufakatan jahat tersebut diatur dalam Buku satu pada bab IX KUHP, sementara yang berlaku sesuai pasal 103 KUHP ini hanya pada istilah-istilah yang terdapat pada Bab I-VIII buku satu KUHP. Hal ini banyak menimbulkan pertanyaan dan dipermasalahkan bagi pihak atau orang-orang yang hanya terpaku pada undang-undang (positivistik). Permasalahan ini menurut saya dapat menjadi suatu alasan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana khususnya bagi pemberlakuan konsep KUHP terbaru (konsep KUHP 2012).

Namun dalam penyelesaian masalah ini biasanya para praktisi menggunakan penafsiran otentik. Maksudnya, bahwa pemufakatan jahat pada dasarnya telah pernah/ada diatur dalam KUHP yaitu pada pasal 88, sehingga dalam penafsiran istilah ini apabila tidak diatur dalam Undang-undang khusus maka dapat digunakan juga istilah yang ada pada pasal 88 dengan diakuinya penafsiran otentik meskipun dalam pasal 103, pasal 88 (bab IX) ini tidak disebutkan dapat digunakan untuk Undang-undang khusu.

Pemecahan masalah ini sebenarnya memang dapat digunakan dan diakui, tapi hal ini dapat melemahkan KUHP kita apalagi adanya aliran positivistik yang selalu mempermasalahkan kepastian hukum, dan harus diatur jelas dalam Undang-undang.

5 comments:

  1. terima kasih atas infonya :-)

    ReplyDelete
  2. Pasal 103 merupakan bagian terpisah dari BAB IX KUHP. Pasal 103 merupakan aturan penutup yang berdiri sendiri, dan bukan merupakan bagian dari BAB IX KUHP

    ReplyDelete
  3. pemberlakuan ketentuan tersebut menurut R. Soesilo :
    Bab IX pasal 86 s.d 102 hanya berlaku untuk menerangkan hal-hal dalam KUHP , misal apa yang dimaksud dengan "malam" pasal 98, "anak kunci palsu" pasal 100 dan "hewan" pasal 101 hanya berlaku untuk internal KUHP saja, selebihnya pasal untuk bab I - bab VIII buku 1 berlaku pula untuk uu diluar KUHP...
    (red) Bila definisi Pemufakatan Jahat menjadi permasalahan, maka kekeliruan bukan terjadi pada KUHP, namun kekeliruan tersebut terjadi pada UU Tipikor yang dalam ketentuan umumnya tidak menjelaskan arti pemufakatan jahat, padahal KUHP telah memberi ruang untuk mendefinisikan bahkan mengatur ketentuan yang berbeda, namun bila mana terjadi kasus demikian seperti uraian di atas, maka dimungkinkan menggunakan ketentuan pasal 88 sesuai tafsiran otentik dengan dalil pernah digunakan oleh KUHP.

    ReplyDelete
  4. Thx artikelnya. Visit my blog on www.putsept.site

    ReplyDelete

Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)