KEUNTUNGAN
dan KERUGIAN
RATIFIKASI
STATUTA ROMA
PENGESAHAN ROME STATUTE
OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT
1998
(STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL 1998)
(STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL 1998)
Ratifikasi merupakan bentuk kepedulian
dan keseriusan suatu negara terhadap suatu hal yang diatur dalam konvensi
internasional. Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian
Internasional mendefinisikan “ratifikasi” sebagai tindakan internasional dari
suatu negara dengan mana dinyatakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada
perjanjian. Ratifikasi merupakan bentuk penundukan suatu negara terhadap suatu
ketentuan hukum (konvensi) internasional, artinya bilamana suatu negara meratifikasi
suatu konvensi maka ia terikat dengan hak dan kewajiban yang terdapat dalam
konvensi tersebut. Selain ratifikasi, pengesahan
perjanjian internasional dapat pula dalam bentuk aksesi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Jika ratifikasi dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian maka aksesi dilakukan apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. Namun secara umum istilah ratifikasi lebih banyak digunakan dalam praktek pengesahan peraturan perjanjian internasional. Ratifikasi berarti konfirmasi dari suatu negara bahwa suatu perjanjian yang diratifikasinya tidak bertentangan dengan kepentingan negaranya Dalam kerangka Hukum Tata Negara ratifikasi merupakan pernyataan untuk menegaskan bahwa perjanjan internasional yang telah disepakati tidak bertentangan dengan hukum nasional.
perjanjian internasional dapat pula dalam bentuk aksesi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Jika ratifikasi dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian maka aksesi dilakukan apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. Namun secara umum istilah ratifikasi lebih banyak digunakan dalam praktek pengesahan peraturan perjanjian internasional. Ratifikasi berarti konfirmasi dari suatu negara bahwa suatu perjanjian yang diratifikasinya tidak bertentangan dengan kepentingan negaranya Dalam kerangka Hukum Tata Negara ratifikasi merupakan pernyataan untuk menegaskan bahwa perjanjan internasional yang telah disepakati tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Dalam konteks urgensi ratifikasi Statuta
Roma, hal ini berarti semua negara peserta konvensi terikat dengan segala hak
dan kewajiban dalam Statuta Roma, diantaranya kewajiban untuk mengadili para
pelaku kejahatan sesuai dengan jurisdiksi Mahkamah. Negara peratifikasi
berkewajiban untuk bekerjasama dalam investigasi dan penuntutan (pasal 86)
dalam bentuk penerapan dalam hukum nasional. Sehingga sebelumnya Negara
tersebut harus menjamin bahwa peraturan perundangan di negaranya sudah memadai
(sebagai bentuk efektifitas prinsip komplementer). Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No.40 Tahun 2004 tanggal
11 Mei 2004 diantaranya mencakup rencana ratifikasi terhadap Statuta Roma pada
tahun 2008. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor
Leste juga secara eksplisit menekankan perlunya upaya untuk menciptakan budaya
hukum dan hak asasi manusia dikalangan masyarakat luas, diantaranya dengan
memasukan materi hak asasi manusia dalam kurikulum pendidikan di sekolah.
Inisiatif yang disarankan untuk dilakukan antara lain adalah sosialisasi dan
implementasi hak-hak yang tercantum dalam instrmeninstrumen hak asasi manusia
dan hukum internasional terutama Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Statuta Roma tentang Mahkamah
Pidana Internasional. Rekomendasi ini sejalan dengan pelaksanaan RANHAM 2004-2009.
Sekali lagi hal ini dapat menunjukan dan menegaskan itikad baik serta komitmen
Indonesia dalam rangka perlindungan HAM internasional yang selaras dengan hukum
nasional.
Urgensi ratifikasi Statuta Roma dirasa semakin
mendesak, seiring dengan kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM
yang terjadi di Indonesia dan komitmen Indonesia dalam upaya perlindungan dan
penegakan hukum HAM. Bukan karena tren dunia internasional yang tengah
mempromosikan MPI, namun hal ini memang diperlukan agar dapat mendorong
kemajuan perlindungan HAM dan penegakan hukumnya terutama dalam perbaikan
sistem peradilan Indonesia.
Tujuan
penerapan MPI (Mahkamah Pidana Internasional) ke dalam hukum nasional:
- Untuk menempatkan Negara Pihak dalam kewajibannya untuk bekerjasama penuh dengan MPI.
- Agar jurisdiksi MPI dapat menjadi pelengkap terhadap sistem pengadilan nasional negara pihak (prinsip komplementer).
Negara sebagai bagian dari masyarakat
internasional mempunyai kewajiban untuk menghukum para pelaku kejahatan yang
termasuk dalam kejahatan internasional yang dianggap dapat mengancam dan
mengganggu perdamaian, keamanan dan ketertiban dunia sesuai dengan isi Piagam
PBB. Hal ini ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 3074 (XXVIII) yang
dikeluarkan pada tanggal 3 Desember 1973 yang menyatakan bahwa penerapan
jurisdiksi internasional mengikat semua Negara anggota PBB, “setiap negara
berkewajiban untuk bekerjasama satu sama lain secara bilateral atau
multilateral untuk mengadili mereka yang dianggap bertanggungjawab melakukan
kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.” Salah satu upaya yang
dapat dilakukan yaitu dengan menjadi negara pihak dalam Statuta Roma tentang
MPI, mengingat salah satu tujuan pendirian MPI yaitu menjamin penghukuman
terhadap pelaku kejahatan yang serius yang menjadi perhatian masyarakat
internasional. Sehingga dengan menjadi Negara Pihak Statuta Roma mau tidak mau
suatu negara akan termotivasi untuk melaksanakan penegakan hukum melalui
pengefektifan praktek dan sistem peradilan nasionalnya yang dilatarbelakangi
salah satu prinsip fundamental MPI yaitu prinsip komplementer. Proses
ratifikasi Statuta Roma merupakan upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan
akibat yang lebih besar di kemudian hari, juga memberikan perlindungan dan
reparasi bagi korban. Beranjak dari pengalaman pengadilanpengadilan ad hoc yang
pernah ada, dimana pertanggungjawaban dirasa kurang mencukupi karena selalu
dipengaruhi unsur politik, MPI menekankan pertanggungjawaban individu45 atas
kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi.
A.
Keuntungan
Meratifikasi Statuta Roma
Konsekuensi logis dari proses ratifikasi
suatu instrumen internasional yaitu bahwa negara yang melakukan ratifikasi
terikat dengan aturan dalam konvensi tersebut. Berbagai pertimbangan tentu
diperlukan oleh suatu negara yang hendak meratifikasi suatu perjanjian
internasional dalam hal ini Statuta Roma. Selain bunyi pasal-pasal yang
terdapat dalam suatu konvensi dan dasar kepentingan suatu negara, dampak yang
dapat timbul akibat peratifikasian pun harus menjadi salah satu pertimbangan,
jangan sampai dampak negatifnya lebih besar daripada dampak positifnya.
Diantaranya dampak terhadap legislasi nasional maupun kelembagaan hukum di
Indonesia serta hubungan keterkaitan dan keterpengaruhan peran Indonesia dalam
percaturan dunia internasional.
1.
Hak preferensi secara aktif dan langsung
dalam segala kegiatan MPI.
Keuntungan
nyata yang diperoleh yaitu bilamana ada suatu musyawarah yang melibatkan negara
peserta, maka kita akan dapat memberikan suara dan pandangan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan isi Statuta maupun hal-hal lain yang menyangkut
pengaturan dan pelaksanaan MPI, termasuk masalah administratif, dimana kita menjadi
anggota Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties). Bagi negara pihak
Statuta Roma, hal ini berarti memberikan hak preferensi secara aktif dan
langsung untuk memberikan peranannya secara aktif dalam segala kegiatan MPI,
termasuk diantaranya melindungi warga negaranya yang menjadi subjek MPI.
2.
Kesempatan untuk menjadi bagian dari
organ MPI.
Dengan
menjadi negara pihak dalam Statuta Roma, maka kesempatan untuk menjadi bagian
dari organ MPI pun terbuka lebar, karena setiap negara pihak berhak mencalonkan
salah satu warganegaranya untuk menjadi hakim, penuntut umum ataupun panitera.
Hal ini dapat meningkatkan kemampuan para aparat penegak hukum Indonesia dalam
berpraktek di pengadilan internasional dan dapat menguatkan posisi tawar negara
dalam pergaulan internasional. Sementara Negara bukan pihak tidak dapat
mencalonkan wakilnya untuk menjadi organ inti MPI.
3.
Membantu percepatan pembaharuan hukum
(legal reform) di Indonesia.
Dengan
meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia akan segera terdorong untuk membenahi
instrumen hukumnya yang belum memadai agar selaras dengan aturan dalam Statuta
Roma. Hal ini dikarenakan prinsip non-reservasi dalam proses ratifikasi Statuta
Roma, yang berarti bahwa negara pihak tunduk pada semua aturan dalam Statuta
Roma. Salah satu hal yang patut dicontoh oleh Indonesia dalam rangka pembaharuan
sistem hukum, khususnya dalam Pengadilan HAM yaitu mekanisme pre-trial di MPI yang sangat berbeda
dengan pra-peradilan dalam sistem KUHAP. Dalam sistem KUHAP, pra-peradilan
merupakan pemeriksaan awal berkaitan dengan proses beracara yang diantaranya berkenaan
dengan:
- Sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersangka, diajukan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penyidikan penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain dengan kuasa dari tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Sementara
itu, ada tiga cara di mana MPI dapat memulai proses penyelidikkan (trigger mechanism) yakni (i) Negara
pihak boleh melaporkan suatu “situasi” kepada Penuntut Umum di mana telah terjadi
satu atau lebih kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI (Pasal 13 (a) dan pasal
14 Statuta Roma) , (ii) atas inisiatif Penuntut Umum untuk melakukan
penyelidikan proprio motu50, karena adanya informasi dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan bahwa telah terjadi suatu kejahatan yang merupakan
yurisdiksi MPI, dan Penuntut Umum telah diberikan kewenangan oleh Pre-Trial
Chamber untuk melaksanakan penyelidikan pidana (Pasal 13(c) dan Pasal 15
Statuta Roma), atas dasar laporan dari Dewan Keamanan PBB mengenai situasi di
mana telah terjadi satu atau lebih kejahatan (yang berada dalam yurisdiksi MPI)
berdasarkan Bab VII Piagam PBB (Pasal 13(b) dan 52(c) Statuta Roma).
Trigger mechanism
yang didasarkan atas inisiatif Penuntut Umum berdasarkan penyelidikan proprio motu karena ada informasi dari orang-orang
yang dapat dipercaya harus melewati mekanisme Pre-Trial Chamber terlebih dahulu. Penuntut Umum harus menganalisis
keseriusan informasi tersebut dengan mencari keterangan tambahan dari badan-badan
PBB, organisasi antar pemerintah, LSM, dan sumber lain yang dapat dipercaya.
Ketika Penuntut Umum menyimpulkan bahwa terdapat dasar yang masuk akal untuk
melaksanakan penyelidikkan, Penuntut Umum dapat meneruskan permohonan
kewenangan untuk melaksanakan penyelidikkan kepada Sidang Pre-Trial yang
terdiri dari tiga orang hakim disertai dengan keterangan pendukungnya. Korban
secara khusus dapat mengirimkan wakilnya dalam Sidang Pre-Trial, khususnya
untuk mendukung Sidang agar memberikan kewenangan untuk melaksanakan
penyelidikan. Jika Sidang Pre-Trial, setelah memeriksa permohonan dan bahan
pendukung, menyatakan adanya ‘dasar yang masuk akal’ untuk memulai pennyelidikan
yang merupakan yurisdiksi dari Mahkamah, maka Sidang harus segera memberikan
wewenang kepada Penuntut Umum untuk melaksaksanakan penyelidikan (pasal 15(4)
Statuta Roma). Namun jika Sidang Pre-Trial menolak untuk memberikan wewenang,
hal ini tidak menutup kemungkinan Penuntut Umum untuk mengajukan kembali permohonan
yang sama dengan fakta-fakta atau bukti baru (Pasal 15 ayat (5) Statuta Roma). Mekanisme
pre-trial memang tidak dikenal dalam KUHAP Indonesia, karena berasal dari
sistem hukum Anglo Saxon yang dipraktekan dalam proses persidangan. Namun dalam
prinsip-prinsip dalam mekanisme ini telah digunakan dalam hukum acara
Pengadilan Tata Usaha Negara dengan istilah dismissal process dan juga
digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dengan istilah pemeriksaan persiapan.54
Belajar dari pengalaman Pengadilan HAM dalam kasus di Indonesia, mekanisme ini
akan memberikan banyak manfaat jika dipraktekan dalam penegakan hukum HAM di
Indonesia, diantaranya:
- Pre-trial ini dapat mencegah terjadinya bolak-balik berkas perkara antara penyelidik (KOMNAS HAM) dengan penyidik (Kejaksaan Agung) yang biasanya disebabkan karena ketidaklengkapan hasil penyelidikan atau karena hal teknis lain misalnya tidak disumpahnya penyelidik.
- Kelengkapan bukti-bukti, perlindungan saksi dan korban, jumlah saksi yang akan dibawa ke persidangan,dll, dapat dipersiapkan semaksimal mungkin dalam Sidang Pre-Trial sehingga terhindar dari pengadilan yang dinilai seolah tidak serius.
- Hal-Hal yang telah diperiksa dan diputuskan oleh Pre-Trial tidak perlu lagi diperiksa dalam Pengadilan sehingga akan tercapai tujuan pengadilan yang murah, cepat dan efisien.
Sebenarnya
mekanisme ini pernah digunakan dalam kasus Trisakti Semanggi Satu (TSS I) di
mana pada akhirnya DPR memutuskan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM yang
berat pada kasus tersebut. Namun tidak dilakukan dengan tepat karena mekanisme
pre-trial dilakukan oleh DPR yang notabene adalah institusi politik, dimana
seharusnya diberikan pada institusi yudikatif. Disini terlihat jelas pengaruh
politik masih sangat besar dalam upaya penegakan dan perlindungan HAM di
Indonesia. Inilah salah satu hal yang harus diperbaiki dalam sistem hukum kita.
Dengan kata lain, dengan meratifikasi Statuta Roma ini sangat mendukung dan
dapat mempercepat upaya reformasi hukum di Indonesia, khususnya berkenaan
dengan mekanisme penegakkan hukum Indonesia.
4.
Mengefektifkan sistem hukum nasional.
Indonesia
tidak perlu khawatir untuk meratifikasi Statuta Roma ini, karena dalam Statuta
Roma itu sendiri ditegaskan secara nyata bahwa penyelesaian suatu perkara tetap
mengutamakan upaya hukum nasional baik secara formal maupun material dengan
prinsip dan asas-asas yang sesuai dengan hukum internasional. Artinya MPI
justru membuka kesempatan yang besar untuk mengefektifkan sistem hukum nasional
dan pengadilan domestik dalam menuntut para pelaku kejahatan. Ini yang disebut
pendekatan komplementer melalui pola yang strategis dan lebih terfokus. Kita
telah memiliki instrumen hukum yang berkaitan dengan perlindungan HAM yang
cukup memadai, seperti dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang Undang N0.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan KUHP,
sehingga kekhawatiran akan adanya intervensi dari forum internasional dapat dieliminir
melalui implementasi yang tegas atas instrumen-instrumen tersebut. Artinya hal
ini dapat mendorong para penegak hukum dan pemerintah serta semua pihak untuk
turut aktif dalam penegakan hukum dan perlindungan HAM.
5.
Sebagai motivator dalam peningkatan
upaya perlindungan HAM.
Adanya
MPI ini dapat menjadi motivator untuk terus menggiatkan dan meningkatkan peran
Indonesia dalam upaya perlindungan HAM internasional, seperti tujuan negara
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu turut aktif dalam upaya menjaga
ketertiban dan perdamaian dunia. Serta menunjukan komitmen Indonesia bahwa
Indonesia dapat melaksanakan perlindungan HAM melalui pengadilan HAM secara
efektif dan efisien dengan menjamin prinsip pertanggungjawaban individu,
penuntutan dan penghukuman bagi pelaku kejahatan. Secara politis hal ini dapat
mengangkat status Indonesia di mata pergaulan internasional.
6.
Menjadi preseden positif bagi negara
lain, khususnya di Asia Tenggara.
Indonesia
sebagai Negara besar di Asia Tenggara seharusnya dapat menjadi contoh dan dapat
mempengaruhi negara-negara lain di sekitarnya. Namun, dalam hal menjadi pihak
dalam Statuta Roma, justru negara-negara di Asia Tenggara yang biasanya
dianggap tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh telah melakukan penandatanganan
dan meratifikasi Statuta Roma, seperti Kamboja dan Timor Leste58. Sebaliknya,
negara-negara berpengaruh justru belum bertindak apapun, hanya Filipina dan
Thailand yang telah menandatangani Statuta Roma meskipun belum meratifikasinya
hingga sekarang. Demikian pula dengan negara-negara besar lainnya di dunia. Dengan
meratifikasi Statuta Roma, Indonesia sebagai salah satu negara besar di kawasan
Asia Tenggara dapat menjadi contoh (trendsetter) yang baik dalam upaya
perlindungan HAM dan penegakan hukum internasional khususnya bagi negara-negara
tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
B.
Kerugian
Tidak Meratifikasi Statuta Roma
Kerugian secara umum tentunya adalah
kebalikan dari keuntungankeuntungan seperti yang telah diuraikan di atas. Namun
terdapat beberapa hal lain disamping hal tersebut diatas yang menjadi perhatian
khusus, diantaranya:
1. Tidak memiliki posisi tawar yang signifikan
1. Tidak memiliki posisi tawar yang signifikan
Kerugian suatu negara tidak meratifikasi
Statuta Roma diantaranya adalah negara tidak dapat memberikan suara berkaitan
dengan isi maupun pelaksanaan Statuta. Kesempatan untuk mengajukan warga
negaranya sebagai hakim dan jaksa di MPI juga tidak dimungkinkan. Namun berbeda
bila negara tersebut mendukung dan meratifikasi Statuta Roma.
2. Reformasi hukum nasional akan berjalan lambat apabila tidak termotivasi dengan tidak adanya keinginan untuk memperbaiki sistem yang berlaku.
2. Reformasi hukum nasional akan berjalan lambat apabila tidak termotivasi dengan tidak adanya keinginan untuk memperbaiki sistem yang berlaku.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma yang berisi aturan mengenai bentuk-bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang bersifat dinamis tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat memotivasi negara untuk memperbaiki hukum nasional terutama sistem peradilannya, termasuk dalam hal hukum acara karena setelah meratifikasi Statuta, negara pihak harus menyesuaikan hukum domestiknya agar berjalan sesuai aturan pelaksanaan dan isi Statuta.
3.
Praktek impunitas
Belajar dari pengalaman penegakkan hukum
di Indonesia di mana masih banyak terjadi praktek impunitas. Para penguasa atau
para komandan/atasan masih bisa berlindung dari jeratan hukum karena alasan
tugas negara atau karena tidak memadainya instrumen hukum Indonesia yang
memberikan celah untuk membebaskan mereka. Dalam konteks ini diakibatkan oleh
unsur politis masih sangat kental dalam penegakkan hukum di Indonesia. Tentu
saja hal ini tidak akan terjadi ketika Indonesia meratifikasi Statuta Roma
karena Indonesia tidak ingin dinilai tidak mau (unwilling) untuk menghukum
pelaku (yang merupakan komandan/atasan tersebut) ketika terbukti Pengadilan
tidak independen atau tidak serius dalam menghukum pelaku.
4.
Resiko intervensi asing dalam kedaulatan
negara semakin besar.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
dengan tidak meratifikasi Statuta Roma 1998 tidak berarti bahwa Indonesia
terlepas dari ancaman intervensi pihak asing terhadap kedaulatan hukum
negaranya. Resiko intervensi pihak asing justru semakin besar jika tidak
meratifikasi, karena prinsip komplementer hanya berlaku bagi negara pihak
Statuta Roma. Dengan menerapkan yurisdiksi universal, suatu negara dapat
mengadili warga negara lain yang melakukan kejahatan internasional dengan
menggunakan mekanisme hukum domestiknya. Jika bukan merupakan Negara pihak dari
Statuta Roma, maka Negara tersebut tidak dapat membela warga negaranya yang
diadili melalui penerapan yurisdiksi universal, karena tidak dapat mengajukan
penerapan prinsip komplementer yang ada dalam statuta roma.
5.
Tekanan dari dunia internasional.
Dari sisi pergaulan internasional, jika
tidak segera meratifikasi statuta roma, Indonesia dapat dianggap tidak
mendukung upaya pencapaian tujuan perdamaian dunia, yang salah satunya adalah
penghormatan dan perlindungan HAM dengan cara penegakan hukum. Komitmen
Indonesia terhadap perlindungan HAM dapat dianggap hanya sebagai retorika
politis karena dalam prakteknya Indonesia tidak mendukung upaya-upaya yang mengarah
pada kemajuan perlindungan HAM.
6.
Kesiapan Infrastruktur dan Instrumen
Hukum Indonesia
Statuta Roma sebagai pembentuk MPI
merupakan angin segar dan bentuk solidaritas sekaligus bentuk
pertanggungjawaban masyarakat internasional terutama dalam upaya penegakan
hukum pidana internasional dengan salah satu tujuannya yaitu menghentikan
impunitas para pelaku kejahatan internasional. Seperti dikemukakan di atas,
bahwa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional ke dalam ketentuan hukum
nasional melaui kebijakan legislatifnya (diantaranya kebijakan meratifikasi
konvensi internasional), perlu dipertimbangkan berbagai aspek untuk
mengantisipasi adanya perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. Dalam implementasinya
di tingkatan hukum nasional diperlukan pertimbangan dari berbagai aspek yang
berkembang, diantaranya sosial, budaya, politik, hukum dan ekonomi. Hanya
dengan meratifikasi Statuta Roma, kita dapat memahami dengan baik melalui
implementasinya di tingkat nasional.
Sumber:
DRAFT
NASKAH AKADEMIS Dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Tentang PENGESAHAN ROME STATUTE OF
THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT 1998 (STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL 1998).
Disusun
oleh :
Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional
Lebih
lengkapnya dowload di Link ini:
No comments:
Post a Comment
Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)