Monday, 25 March 2013

RATIFIKASI STATUTA ROMA

KEUNTUNGAN dan KERUGIAN
RATIFIKASI STATUTA ROMA
PENGESAHAN ROME STATUTE
OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT 1998
(STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL 1998)


Ratifikasi merupakan bentuk kepedulian dan keseriusan suatu negara terhadap suatu hal yang diatur dalam konvensi internasional. Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional mendefinisikan “ratifikasi” sebagai tindakan internasional dari suatu negara dengan mana dinyatakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian. Ratifikasi merupakan bentuk penundukan suatu negara terhadap suatu ketentuan hukum (konvensi) internasional, artinya bilamana suatu negara meratifikasi suatu konvensi maka ia terikat dengan hak dan kewajiban yang terdapat dalam konvensi tersebut. Selain ratifikasi, pengesahan
perjanjian internasional dapat pula dalam bentuk  aksesi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000  tentang Perjanjian Internasional. Jika ratifikasi dilakukan apabila negara yang  akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani  naskah perjanjian maka aksesi dilakukan apabila negara yang mengesahkan  suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. Namun secara umum istilah ratifikasi lebih banyak digunakan dalam praktek pengesahan peraturan perjanjian internasional. Ratifikasi berarti konfirmasi dari suatu negara bahwa suatu perjanjian yang diratifikasinya tidak bertentangan dengan kepentingan negaranya Dalam kerangka Hukum Tata Negara ratifikasi merupakan pernyataan untuk menegaskan bahwa perjanjan internasional yang telah disepakati tidak bertentangan dengan hukum nasional.


Dalam konteks urgensi ratifikasi Statuta Roma, hal ini berarti semua negara peserta konvensi terikat dengan segala hak dan kewajiban dalam Statuta Roma, diantaranya kewajiban untuk mengadili para pelaku kejahatan sesuai dengan jurisdiksi Mahkamah. Negara peratifikasi berkewajiban untuk bekerjasama dalam investigasi dan penuntutan (pasal 86) dalam bentuk penerapan dalam hukum nasional. Sehingga sebelumnya Negara tersebut harus menjamin bahwa peraturan perundangan di negaranya sudah memadai (sebagai bentuk efektifitas prinsip komplementer). Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No.40 Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004 diantaranya mencakup rencana ratifikasi terhadap Statuta Roma pada tahun 2008. Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste juga secara eksplisit menekankan perlunya upaya untuk menciptakan budaya hukum dan hak asasi manusia dikalangan masyarakat luas, diantaranya dengan memasukan materi hak asasi manusia dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Inisiatif yang disarankan untuk dilakukan antara lain adalah sosialisasi dan implementasi hak-hak yang tercantum dalam instrmeninstrumen hak asasi manusia dan hukum internasional terutama Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. Rekomendasi ini sejalan dengan pelaksanaan RANHAM 2004-2009. Sekali lagi hal ini dapat menunjukan dan menegaskan itikad baik serta komitmen Indonesia dalam rangka perlindungan HAM internasional yang selaras dengan hukum nasional.


Urgensi ratifikasi Statuta Roma dirasa semakin mendesak, seiring dengan kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan komitmen Indonesia dalam upaya perlindungan dan penegakan hukum HAM. Bukan karena tren dunia internasional yang tengah mempromosikan MPI, namun hal ini memang diperlukan agar dapat mendorong kemajuan perlindungan HAM dan penegakan hukumnya terutama dalam perbaikan sistem peradilan Indonesia.

Tujuan penerapan MPI (Mahkamah Pidana Internasional) ke dalam hukum nasional:
  1. Untuk menempatkan Negara Pihak dalam kewajibannya untuk bekerjasama penuh dengan MPI.
  2. Agar jurisdiksi MPI dapat menjadi pelengkap terhadap sistem pengadilan nasional negara pihak (prinsip komplementer).

Negara sebagai bagian dari masyarakat internasional mempunyai kewajiban untuk menghukum para pelaku kejahatan yang termasuk dalam kejahatan internasional yang dianggap dapat mengancam dan mengganggu perdamaian, keamanan dan ketertiban dunia sesuai dengan isi Piagam PBB. Hal ini ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 3074 (XXVIII) yang dikeluarkan pada tanggal 3 Desember 1973 yang menyatakan bahwa penerapan jurisdiksi internasional mengikat semua Negara anggota PBB, “setiap negara berkewajiban untuk bekerjasama satu sama lain secara bilateral atau multilateral untuk mengadili mereka yang dianggap bertanggungjawab melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.” Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menjadi negara pihak dalam Statuta Roma tentang MPI, mengingat salah satu tujuan pendirian MPI yaitu menjamin penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Sehingga dengan menjadi Negara Pihak Statuta Roma mau tidak mau suatu negara akan termotivasi untuk melaksanakan penegakan hukum melalui pengefektifan praktek dan sistem peradilan nasionalnya yang dilatarbelakangi salah satu prinsip fundamental MPI yaitu prinsip komplementer. Proses ratifikasi Statuta Roma merupakan upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan akibat yang lebih besar di kemudian hari, juga memberikan perlindungan dan reparasi bagi korban. Beranjak dari pengalaman pengadilanpengadilan ad hoc yang pernah ada, dimana pertanggungjawaban dirasa kurang mencukupi karena selalu dipengaruhi unsur politik, MPI menekankan pertanggungjawaban individu45 atas kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi.

A.       Keuntungan Meratifikasi Statuta Roma
Konsekuensi logis dari proses ratifikasi suatu instrumen internasional yaitu bahwa negara yang melakukan ratifikasi terikat dengan aturan dalam konvensi tersebut. Berbagai pertimbangan tentu diperlukan oleh suatu negara yang hendak meratifikasi suatu perjanjian internasional dalam hal ini Statuta Roma. Selain bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam suatu konvensi dan dasar kepentingan suatu negara, dampak yang dapat timbul akibat peratifikasian pun harus menjadi salah satu pertimbangan, jangan sampai dampak negatifnya lebih besar daripada dampak positifnya. Diantaranya dampak terhadap legislasi nasional maupun kelembagaan hukum di Indonesia serta hubungan keterkaitan dan keterpengaruhan peran Indonesia dalam percaturan dunia internasional.

1.         Hak preferensi secara aktif dan langsung dalam segala kegiatan MPI.
Keuntungan nyata yang diperoleh yaitu bilamana ada suatu musyawarah yang melibatkan negara peserta, maka kita akan dapat memberikan suara dan pandangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan isi Statuta maupun hal-hal lain yang menyangkut pengaturan dan pelaksanaan MPI, termasuk masalah administratif, dimana kita menjadi anggota Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties). Bagi negara pihak Statuta Roma, hal ini berarti memberikan hak preferensi secara aktif dan langsung untuk memberikan peranannya secara aktif dalam segala kegiatan MPI, termasuk diantaranya melindungi warga negaranya yang menjadi subjek MPI.

2.         Kesempatan untuk menjadi bagian dari organ MPI.
Dengan menjadi negara pihak dalam Statuta Roma, maka kesempatan untuk menjadi bagian dari organ MPI pun terbuka lebar, karena setiap negara pihak berhak mencalonkan salah satu warganegaranya untuk menjadi hakim, penuntut umum ataupun panitera. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan para aparat penegak hukum Indonesia dalam berpraktek di pengadilan internasional dan dapat menguatkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional. Sementara Negara bukan pihak tidak dapat mencalonkan wakilnya untuk menjadi organ inti MPI.

3.         Membantu percepatan pembaharuan hukum (legal reform) di Indonesia.
Dengan meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia akan segera terdorong untuk membenahi instrumen hukumnya yang belum memadai agar selaras dengan aturan dalam Statuta Roma. Hal ini dikarenakan prinsip non-reservasi dalam proses ratifikasi Statuta Roma, yang berarti bahwa negara pihak tunduk pada semua aturan dalam Statuta Roma. Salah satu hal yang patut dicontoh oleh Indonesia dalam rangka pembaharuan sistem hukum, khususnya dalam Pengadilan HAM yaitu mekanisme pre-trial di MPI yang sangat berbeda dengan pra-peradilan dalam sistem KUHAP. Dalam sistem KUHAP, pra-peradilan merupakan pemeriksaan awal berkaitan dengan proses beracara yang diantaranya berkenaan dengan:

  1. Sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersangka, diajukan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penyidikan penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain dengan kuasa dari tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Sementara itu, ada tiga cara di mana MPI dapat memulai proses penyelidikkan (trigger mechanism) yakni (i) Negara pihak boleh melaporkan suatu “situasi” kepada Penuntut Umum di mana telah terjadi satu atau lebih kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI (Pasal 13 (a) dan pasal 14 Statuta Roma) , (ii) atas inisiatif Penuntut Umum untuk melakukan penyelidikan proprio motu50, karena adanya informasi dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa telah terjadi suatu kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI, dan Penuntut Umum telah diberikan kewenangan oleh Pre-Trial Chamber untuk melaksanakan penyelidikan pidana (Pasal 13(c) dan Pasal 15 Statuta Roma), atas dasar laporan dari Dewan Keamanan PBB mengenai situasi di mana telah terjadi satu atau lebih kejahatan (yang berada dalam yurisdiksi MPI) berdasarkan Bab VII Piagam PBB (Pasal 13(b) dan 52(c) Statuta Roma).

Trigger mechanism yang didasarkan atas inisiatif Penuntut Umum berdasarkan penyelidikan proprio motu karena ada informasi dari orang-orang yang dapat dipercaya harus melewati mekanisme Pre-Trial Chamber terlebih dahulu. Penuntut Umum harus menganalisis keseriusan informasi tersebut dengan mencari keterangan tambahan dari badan-badan PBB, organisasi antar pemerintah, LSM, dan sumber lain yang dapat dipercaya. Ketika Penuntut Umum menyimpulkan bahwa terdapat dasar yang masuk akal untuk melaksanakan penyelidikkan, Penuntut Umum dapat meneruskan permohonan kewenangan untuk melaksanakan penyelidikkan kepada Sidang Pre-Trial yang terdiri dari tiga orang hakim disertai dengan keterangan pendukungnya. Korban secara khusus dapat mengirimkan wakilnya dalam Sidang Pre-Trial, khususnya untuk mendukung Sidang agar memberikan kewenangan untuk melaksanakan penyelidikan. Jika Sidang Pre-Trial, setelah memeriksa permohonan dan bahan pendukung, menyatakan adanya ‘dasar yang masuk akal’ untuk memulai pennyelidikan yang merupakan yurisdiksi dari Mahkamah, maka Sidang harus segera memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk melaksaksanakan penyelidikan (pasal 15(4) Statuta Roma). Namun jika Sidang Pre-Trial menolak untuk memberikan wewenang, hal ini tidak menutup kemungkinan Penuntut Umum untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan fakta-fakta atau bukti baru (Pasal 15 ayat (5) Statuta Roma). Mekanisme pre-trial memang tidak dikenal dalam KUHAP Indonesia, karena berasal dari sistem hukum Anglo Saxon yang dipraktekan dalam proses persidangan. Namun dalam prinsip-prinsip dalam mekanisme ini telah digunakan dalam hukum acara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan istilah dismissal process dan juga digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dengan istilah pemeriksaan persiapan.54 Belajar dari pengalaman Pengadilan HAM dalam kasus di Indonesia, mekanisme ini akan memberikan banyak manfaat jika dipraktekan dalam penegakan hukum HAM di Indonesia, diantaranya:

  1. Pre-trial ini dapat mencegah terjadinya bolak-balik berkas perkara antara penyelidik (KOMNAS HAM) dengan penyidik (Kejaksaan Agung) yang biasanya disebabkan karena ketidaklengkapan hasil penyelidikan atau karena hal teknis lain misalnya tidak disumpahnya penyelidik.
  2. Kelengkapan bukti-bukti, perlindungan saksi dan korban, jumlah saksi yang akan dibawa ke persidangan,dll, dapat dipersiapkan semaksimal mungkin dalam Sidang Pre-Trial sehingga terhindar dari pengadilan yang dinilai seolah tidak serius.
  3. Hal-Hal yang telah diperiksa dan diputuskan oleh Pre-Trial tidak perlu lagi diperiksa dalam Pengadilan sehingga akan tercapai tujuan pengadilan yang murah, cepat dan efisien.

Sebenarnya mekanisme ini pernah digunakan dalam kasus Trisakti Semanggi Satu (TSS I) di mana pada akhirnya DPR memutuskan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat pada kasus tersebut. Namun tidak dilakukan dengan tepat karena mekanisme pre-trial dilakukan oleh DPR yang notabene adalah institusi politik, dimana seharusnya diberikan pada institusi yudikatif. Disini terlihat jelas pengaruh politik masih sangat besar dalam upaya penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Inilah salah satu hal yang harus diperbaiki dalam sistem hukum kita. Dengan kata lain, dengan meratifikasi Statuta Roma ini sangat mendukung dan dapat mempercepat upaya reformasi hukum di Indonesia, khususnya berkenaan dengan mekanisme penegakkan hukum Indonesia.

4.         Mengefektifkan sistem hukum nasional.
Indonesia tidak perlu khawatir untuk meratifikasi Statuta Roma ini, karena dalam Statuta Roma itu sendiri ditegaskan secara nyata bahwa penyelesaian suatu perkara tetap mengutamakan upaya hukum nasional baik secara formal maupun material dengan prinsip dan asas-asas yang sesuai dengan hukum internasional. Artinya MPI justru membuka kesempatan yang besar untuk mengefektifkan sistem hukum nasional dan pengadilan domestik dalam menuntut para pelaku kejahatan. Ini yang disebut pendekatan komplementer melalui pola yang strategis dan lebih terfokus. Kita telah memiliki instrumen hukum yang berkaitan dengan perlindungan HAM yang cukup memadai, seperti dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang N0.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan KUHP, sehingga kekhawatiran akan adanya intervensi dari forum internasional dapat dieliminir melalui implementasi yang tegas atas instrumen-instrumen tersebut. Artinya hal ini dapat mendorong para penegak hukum dan pemerintah serta semua pihak untuk turut aktif dalam penegakan hukum dan perlindungan HAM.

5.         Sebagai motivator dalam peningkatan upaya perlindungan HAM.
Adanya MPI ini dapat menjadi motivator untuk terus menggiatkan dan meningkatkan peran Indonesia dalam upaya perlindungan HAM internasional, seperti tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu turut aktif dalam upaya menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Serta menunjukan komitmen Indonesia bahwa Indonesia dapat melaksanakan perlindungan HAM melalui pengadilan HAM secara efektif dan efisien dengan menjamin prinsip pertanggungjawaban individu, penuntutan dan penghukuman bagi pelaku kejahatan. Secara politis hal ini dapat mengangkat status Indonesia di mata pergaulan internasional.

6.         Menjadi preseden positif bagi negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
Indonesia sebagai Negara besar di Asia Tenggara seharusnya dapat menjadi contoh dan dapat mempengaruhi negara-negara lain di sekitarnya. Namun, dalam hal menjadi pihak dalam Statuta Roma, justru negara-negara di Asia Tenggara yang biasanya dianggap tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh telah melakukan penandatanganan dan meratifikasi Statuta Roma, seperti Kamboja dan Timor Leste58. Sebaliknya, negara-negara berpengaruh justru belum bertindak apapun, hanya Filipina dan Thailand yang telah menandatangani Statuta Roma meskipun belum meratifikasinya hingga sekarang. Demikian pula dengan negara-negara besar lainnya di dunia. Dengan meratifikasi Statuta Roma, Indonesia sebagai salah satu negara besar di kawasan Asia Tenggara dapat menjadi contoh (trendsetter) yang baik dalam upaya perlindungan HAM dan penegakan hukum internasional khususnya bagi negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

B.           Kerugian Tidak Meratifikasi Statuta Roma
Kerugian secara umum tentunya adalah kebalikan dari keuntungankeuntungan seperti yang telah diuraikan di atas. Namun terdapat beberapa hal lain disamping hal tersebut diatas yang menjadi perhatian khusus, diantaranya:

1.    Tidak memiliki posisi tawar yang signifikan
Kerugian suatu negara tidak meratifikasi Statuta Roma diantaranya adalah negara tidak dapat memberikan suara berkaitan dengan isi maupun pelaksanaan Statuta. Kesempatan untuk mengajukan warga negaranya sebagai hakim dan jaksa di MPI juga tidak dimungkinkan. Namun berbeda bila negara tersebut mendukung dan meratifikasi Statuta Roma.

2.    Reformasi hukum nasional akan berjalan lambat apabila tidak termotivasi dengan tidak adanya keinginan untuk memperbaiki sistem yang berlaku. 


Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma yang berisi aturan mengenai bentuk-bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang bersifat dinamis tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat memotivasi negara untuk memperbaiki hukum nasional terutama sistem peradilannya, termasuk dalam hal hukum acara karena setelah meratifikasi Statuta, negara pihak harus menyesuaikan hukum domestiknya agar berjalan sesuai aturan pelaksanaan dan isi Statuta.

3.         Praktek impunitas
Belajar dari pengalaman penegakkan hukum di Indonesia di mana masih banyak terjadi praktek impunitas. Para penguasa atau para komandan/atasan masih bisa berlindung dari jeratan hukum karena alasan tugas negara atau karena tidak memadainya instrumen hukum Indonesia yang memberikan celah untuk membebaskan mereka. Dalam konteks ini diakibatkan oleh unsur politis masih sangat kental dalam penegakkan hukum di Indonesia. Tentu saja hal ini tidak akan terjadi ketika Indonesia meratifikasi Statuta Roma karena Indonesia tidak ingin dinilai tidak mau (unwilling) untuk menghukum pelaku (yang merupakan komandan/atasan tersebut) ketika terbukti Pengadilan tidak independen atau tidak serius dalam menghukum pelaku.

4.         Resiko intervensi asing dalam kedaulatan negara semakin besar.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dengan tidak meratifikasi Statuta Roma 1998 tidak berarti bahwa Indonesia terlepas dari ancaman intervensi pihak asing terhadap kedaulatan hukum negaranya. Resiko intervensi pihak asing justru semakin besar jika tidak meratifikasi, karena prinsip komplementer hanya berlaku bagi negara pihak Statuta Roma. Dengan menerapkan yurisdiksi universal, suatu negara dapat mengadili warga negara lain yang melakukan kejahatan internasional dengan menggunakan mekanisme hukum domestiknya. Jika bukan merupakan Negara pihak dari Statuta Roma, maka Negara tersebut tidak dapat membela warga negaranya yang diadili melalui penerapan yurisdiksi universal, karena tidak dapat mengajukan penerapan prinsip komplementer yang ada dalam statuta roma.

5.         Tekanan dari dunia internasional.
Dari sisi pergaulan internasional, jika tidak segera meratifikasi statuta roma, Indonesia dapat dianggap tidak mendukung upaya pencapaian tujuan perdamaian dunia, yang salah satunya adalah penghormatan dan perlindungan HAM dengan cara penegakan hukum. Komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM dapat dianggap hanya sebagai retorika politis karena dalam prakteknya Indonesia tidak mendukung upaya-upaya yang mengarah pada kemajuan perlindungan HAM.

6.         Kesiapan Infrastruktur dan Instrumen Hukum Indonesia
Statuta Roma sebagai pembentuk MPI merupakan angin segar dan bentuk solidaritas sekaligus bentuk pertanggungjawaban masyarakat internasional terutama dalam upaya penegakan hukum pidana internasional dengan salah satu tujuannya yaitu menghentikan impunitas para pelaku kejahatan internasional. Seperti dikemukakan di atas, bahwa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional ke dalam ketentuan hukum nasional melaui kebijakan legislatifnya (diantaranya kebijakan meratifikasi konvensi internasional), perlu dipertimbangkan berbagai aspek untuk mengantisipasi adanya perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut. Dalam implementasinya di tingkatan hukum nasional diperlukan pertimbangan dari berbagai aspek yang berkembang, diantaranya sosial, budaya, politik, hukum dan ekonomi. Hanya dengan meratifikasi Statuta Roma, kita dapat memahami dengan baik melalui implementasinya di tingkat nasional.

Sumber:
DRAFT NASKAH AKADEMIS Dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Tentang PENGESAHAN ROME STATUTE OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT 1998 (STATUTA ROMA TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL 1998).

Disusun oleh :
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional

Lebih lengkapnya dowload di Link ini:

No comments:

Post a Comment

Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)