Asas ini bagi orang yang bekecimpung dalam dunia Hukum sangat biasa mendengar dan sering menggunakannya dalam penerapan Hukum. Dalam tulisan ini saya hendak membahas permasalahan-permasalahan yang perlu dipertimbangkan dengan penggunaan asas legalitas pasal 1 ayat (1) dan retroaktif (pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia yang masih digunakan sekarang.
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya", dengan demikian harus ada Undang-undang yang mengatur terlebih dahulu dari pada perbuatan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana atau asas lealitas yang dianut oleh KUHP yaitu Legalitas Formil. Pertanyaannya sekarang, dimana lebih pertama muncul antara suatu perbuatan daripada Undang-undang?, yang mana selama ini Undang-undang baru dibuat setelah adanya Perbuatan yang dirasa dapat mengganggu ketertiban/keamanan atau hal-hal lain. Zaman dan kehidupan sementara Undang-undang itu sendiri berusaha untuk mengikuti perkembangan dari kehidupan itu sendiri. Apakah asas ini layak dipertahankan?
Berbicara tentang sejarah, bahwa KUHP Indonesia merupakan peninggalan dari Belanda pada saat penjajahan, dan sebelumnya peraturan tersebut diberlakukan oleh Perancis di Belanda pada masa penjajahan Perancis di Belanda. KUHP ini telah melewati waktu dan masa yang panjang hingga sampai ke Indonesia. Pada Sejarah pembuatan Undang-undang atau pengkodifikasian peraturan yaitu untuk mencegah kesewenang-wenangan dari penguasa, dimana masih adanya doktrin yang menyatakan bahwa Raja itu adalah Hukum, yang menentukan bersalah atau tidak adalah Raja, sehingga dalam perkembangan pengetahuan doktrin tersebut semakin dirasakan oleh masyarakat karena menimbulkan kesewenanga-wenangan penguasa, sehingga muncul ide untuk mencegah hal tersebut yang kemudian disahkan sebagai salah satu aturan (legalitas) dalam pembuatan Undang-undang.
Memperhatikan tujuan pembuatan Undang-undang tersebut memang adalah baik adanya. Namun dalam penerapan dan logika Hukum, menurut penulis hal ini banyak menimbulkan ketidak sesuaian serta ambur adurnya pembentukan dan pemberlakuan hukum maupun Undang-undang yang berlaku. Berpikir logika tidak akan mungkin Undang-undang lebih pertama muncul dari suatu perbuatan, yang meskipun memang Hukum harus dapat memprediksikan Hukum yang akan berlaku dimasa depan atau Hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) atas hukum yang seharusnya (das sollen). Namun hal itu dalam pelaksanaannya adalah sulit. Hukum tertulis baru ada setelah terjadi perkembangan kehidupan manusia, hukum tertulis baru ada setelah adanya pengetahuan tentang Hukum, sementara kehidupan telah lama berlangsung. dengan demikian manusia pada Zaman dulu bisa dikatakn masih menggunakan aturan-aturan yang tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Kodifikasi tujuannya adalah Kepastian, Sementara dalam perkembangan Ilmu Hukum, Hukum yang baik itu setidaknya memenuhi Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Dengan demikian mengapa asas ini (Legalitas Formil) masih dipertahankan?
Sebenarnya penting dan perlu diteliti bagaimana pelaksanaan asas ini pada awal mula pemberlakuan aturan ini. Mengapa ? Karena asas ini diterapkan sementara Undang-undang atau Kodifikasi ini masih pertamakali. Misalnya terjadi pembunuhan, pada masa sebelum adanya Undang-undang yang mengatur tentang pembunuhan pastinya akan dihukum dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat itu atau atas kekuasaan penguasa pada sat itu. Nah, bagaimana pelaksanaan asas ini setelah di undangkan pada setiap aturan yang diatur dalam Undang-undang tersebut, dimana tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada aturan yang mengatur, dan asanya tidak dapat berlaku surut, Apakah perbuatan membunuh itu dibiarkan saja atau dihukum? Menurut penulis jelas di hukum, namun yang menjadi pertanyaan lagi, hukuman itu didasarkan dengan apa? karena asasnya melarang berlakunya surut, sementara undang-undang tertulis baru ada, dan perbuatan jahat telah ada sejak awal mula kehidupan.
Intinya, menurut penulis harusnya asas legalitas formil yang dianut KUHP Indonesia tidak layak untuk berlaku. Hal ini menimbulkan kebingungan Hukum. contohnya, UU No 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM. Undang-undang ini dapat berlaku surut. Hal ini menimbulkan keberagaman aturan yang menyebabkan setiap Undang-undang Indonesia kadang kala jika dipikirkan satu sama lain bertolak belakang dan bertentangan. Sementara sistem Induk Hukum Pidana Indonesia adalah KUHP. Dalam pelaksanaannya pertentangan ini diterobos dengan adanya asas lex spesialis. Menurut penulis, asas ini bisa-bisa saja, karena Undang-undang khusus dapat melakukan penyimpangan dari lex generalis, namun bukan berarti harus bertolak belakang atau menentang, terlebih lagi jika dilihat dalam Konstitusi Indonesia dalam pasal 28I UUD 1945, yang menentang berlakunya Undang-undang yang berlaku surut dengan alasan apapun. Bagaimana dengan hal ini? melihat asasnya lagi UUD 1945 adalah landasan dari seluruh aturan dan Hierarkinya/Kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang. Hal ini kan menyebabkan tidak adanya persesuaian aturan yang menimbulkan gejolak yang sangat membingungkan, dimana belum adanya singkronisasi aturan-aturan yang berlaku.
Kebingungan dan kekurang jelasan berikutnya yaitu mengenai pasal 1 ayat (2) KUHP yaitu : "Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya", artinya suatu Undang-undang dapat berlaku surut apabila adanya perubahan Undang-undang. Dalam pembuatan Undang-undang menurut penulis terdapat 3 alasan umum (dalam arti luas) yaitu Kriminalisasi, deskriminalisasi dan perubahan/penggantian.
Pertanyaannya adalah dimana letak dari berlaku surutnya suatu Undang-undang tersebut? yang menjadi masalah yaitu pada Kriminalisasi suatu perbuatan. Artinya bahwa dalam Kriminalisasi baru dimulai pemberlakuan Undang-undang atas suatu perbuatan atau dengan kata lain membuat aturan (Undang-undang) tentang suatu perbuatan yang dulu bukan dianggap suatu tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Apakah berlaku surut sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dapat berlaku? Namun sebelum membahas ini, perlu dipahami juga mengenai kriminalisasi, karena penulis merasa ada pemahaman yang kurang mengenai kriminalisasi ini. Kriminalisasi secara singkat menurut penulis yaitu mengkriminalkan atau menjadikan suatu perbuatan yang dulu bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana dalam artian aturan tentang suatu perbuatan tersebut pada dasarnya belum pernah disentuh oleh aturan tertulis atau baru dianggap menjadi suatu permasalahan yang mengganggu ketertiban bermasyarakat/bernegara. Berdasarkan pengamatan penulis masih banyak pemahaman yang kurang, contoh: misalnya UU TIPIKOR, dan UU Terorisme. Apakah Undang-undang ini merupakan Kriminalisasi? Menurut Penulis UU tersebut bukan merupakan kriminalisasi, mengapa? Karena dasar dari Undang-undang tersebut telah ada sebelumnya hanya saja karena aturan yang ada sebelumnya itu dilihat dilihat dari segi hukuman yang diberikan atau diancamkan dirasa tidak sesuai atau perbuatan semakin meluas sehingga perlu di kerucutkan lagi. apakah kriminalisasi hanya sebatas ancaman pidananya? tidak, tapi pada perbuatannya. Misalnya UU TIPIKOR, dalam KUHP telah mengatur misanya suap-menyuap, mencuri (dalam artian di KUHP), jadi apakah ini masih kriminalisasi, begitu juga dengan Terosisme, dalam KUHP telah diatur dan diancam pidana bagi orang yang melakukan ancaman (teror) baik dengan ancaman kekerasan atau tidak, atau perbuatan lain bagi yang melakukan pengerusakan, atau pembunuhan, jadi apakah ini kriminalisasi, menurut hemat penulis ini bukan Kriminalisasi tapi pembaharuan hukum yang berlaku dalam penegakan keadilan akibat adanya perubahan pola dan tingkah laku manusia dalam perkembangan zaman. Kalau dilihat secara ide dasar munculnya Undang-undang TIPIKOR pada awal mula pembuatan, kan masih menarik aturan-aturan yang ada dalam KUHP, misalnya mengenai perbuatan curang dalam pasal 387 KUHP yang diangkat masuk menjadi delik dalam TIPIKOR (UU No. 31 tahun 1999), contoh lain pasal yang digunakan dalam UU TIPIKO tersebut yaitu pasal 388, 210, 415,416, 417, 418, 419 dan masih banyak yang lain.
Kembali lagi pada saat terjadinya Kriminalisasi apakah dapat berlaku retroaktrif? Menurut penafsiran penulis pada aturan asas retroaktif pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai pengecualian asas legalitas, hal ini tidak bisa, karena retroaktif yang dimaksud dalam pasal tersebut hanya pada saat perubahan/peggantian Undang-undang yang sebelumnya memang telah ada sebelumnya. Menurut penulis asas pasal 1 ayat (2) KUHP ini bukan merupakan asas retroaktif dalam arti luas karena hanya fokus pada masa perubahan/penggantian UU saja atau jika dilihat pandangan Prof.Barda Nawawi Arief bahwa pasal 1 ayat (2) ini tidak menganut prinsip retroaktif, tetapi mengatur tentang hukum yang berlaku dalam masa transisi, dimana yang diterapkan adalah yang menguntungkan bagi terdakwa sehingga lebih menganut asas subsidiaritas (lih. Barda Nawawi Arief. 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. hal 3 dan 8. Kelemahan pasal ini yaitu tidak menjelaskan posisi retroaktif itu sendiri pada saat terjadi kriminalisasi, dan dekriminalisasi. Bagaimana apabila terjadi dekriminalisasi, dimana perbuatan terdakwa atau terpidana tersebut kemudian dianggap bukan merupakan tindak pidana, baik itu pada saat pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan maupun pada pelaksanaan pidana? Apakah pelaku masih tetap dipidana atau dilepaskan dari tuntutan hukum? Hal ini menjadi suatu dilema bagi penulis, karena tidak ada diatur maupun dijelaskan. Menurut penulis pelaku (terdakwa/terpidana) harus dilepaskan dari tuntutan hukum baik dalam proses dekriminalisasi pada saat setelah perbuatan dilakukan dalam setiap proses sistem peradilan pidana.
Memperhatikan konsep KUHP Indonesia sekarang (2012) dimana antara kejahatan dan pelanggaran tidak dibedakan lagi sebagaimana KUHP yang masih berlaku. Dalam buku II Konsep KUHP (2012) hanya mengenal Tindak Pidana. Dalam hal ini penulis kurang sepakat dan tidak tepat, hubungannya dalam pelaksanaan asas legalitas dan retroaktif.
Kejahatan menurut penulis yaitu suatu perbuatan yang mana perbuatan itu pada dasarnya mengandung sikap batin yang jahat (mens rea) atau perbuatan tersebut adalah jahat (actus reus), dengan artian bahwa sebenarnya perbuatan tersebut memang jahat dalam kehidupan bermasyarakat baik diatur maupun tidak diatur dalam Undang-undang. Berbeda halnya dengan Pelanggaran, dimana suatu perbuatan dapat dikatakan salah apabila perbuatan tersebut melanggar aturan atau Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Hubungannya dengan asas legalitas dan retroaktif yaitu mengenai undang-undang (tertulis) dan pemberlakuannya. Menurut penulis asas retroaktif merupakan konsekuensi atas pemberlakuan asas legalitas, kemudian asas legalitas itu hanya dapat diberlakukan pada perbuatan yang sifatnya melanggar bukan pada kejahatan. Mengapa? dari pengertian diatas mengenai pelanggaran yaitu bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan salah apabila belum ada Undang-undang yang mengaturnya artinya bahwa perbuatan itu harus melanggar undang-undang yang ada dulu, jadi perbuatan itu baru dapat dikenai pidana atau hukuman apabila pelaku melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang, beda halnya dengan Kejahatan, karena meskipun diatur atau tidak memang pada dasarnya perbuatan tersebut telah jahat jadi kedudukan Undang-undang tidak perlu dipermasalahkan ada atau tidaknya. Apabila perbuatan itu jahat harus ditindak, dihukum, baik melalui Undang-undang atau aturan yang berlaku di masyarakat atau hukum yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum. Dengan demikian asas Legalitas yang baik itu digunakan menurut penulis adalah Legalitas Materiel yaitu mengakui adanya aturan yang ada dalam masyarakat atau Hukum yang tertulis dan tidak tertulis bukan sebagai corong Undang-undang.
Kesimpulan Penulis:
Hukum di Indonesia belum ada singkronisasi substansial pada pembuatan peratuan perundang-undang yang berlaku dan penggunaan teori dan doktrin dalam penerapan dalam undang-undang yang belum tepat. Sistem Induk Hukum Pidana Indonesia (KUHP) perlu diperbaiki seutuhnya (dalam artian berhubungan dengan Buku I, sebagai landasan utama), dalam hal ini khususnya asas legalitas dan retroaktif serta penjelasan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran. Ada baiknya legalitas yang dianut KUHP yaitu Legalitas Materiel, sama halnya dengan yang dianut dalam Konsep KUHP 2012, namun dalam hal kejahatan dan pelanggaran ada baiknya tetap di bedakan agar terdapat kejelasan dalam pelaksanaan asas legalitas dan retroaktif yang digunakan.
"Tulisan Ini hanya sebuah kontoversi dalam pemikiran penulis"
Apabila ada saran dan kritik silahkan di komen!
Semoga dapat menambah Ilmu dan sikap kritis dalam penegakan hukum Indonesia
Asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya", dengan demikian harus ada Undang-undang yang mengatur terlebih dahulu dari pada perbuatan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana atau asas lealitas yang dianut oleh KUHP yaitu Legalitas Formil. Pertanyaannya sekarang, dimana lebih pertama muncul antara suatu perbuatan daripada Undang-undang?, yang mana selama ini Undang-undang baru dibuat setelah adanya Perbuatan yang dirasa dapat mengganggu ketertiban/keamanan atau hal-hal lain. Zaman dan kehidupan sementara Undang-undang itu sendiri berusaha untuk mengikuti perkembangan dari kehidupan itu sendiri. Apakah asas ini layak dipertahankan?
Berbicara tentang sejarah, bahwa KUHP Indonesia merupakan peninggalan dari Belanda pada saat penjajahan, dan sebelumnya peraturan tersebut diberlakukan oleh Perancis di Belanda pada masa penjajahan Perancis di Belanda. KUHP ini telah melewati waktu dan masa yang panjang hingga sampai ke Indonesia. Pada Sejarah pembuatan Undang-undang atau pengkodifikasian peraturan yaitu untuk mencegah kesewenang-wenangan dari penguasa, dimana masih adanya doktrin yang menyatakan bahwa Raja itu adalah Hukum, yang menentukan bersalah atau tidak adalah Raja, sehingga dalam perkembangan pengetahuan doktrin tersebut semakin dirasakan oleh masyarakat karena menimbulkan kesewenanga-wenangan penguasa, sehingga muncul ide untuk mencegah hal tersebut yang kemudian disahkan sebagai salah satu aturan (legalitas) dalam pembuatan Undang-undang.
Memperhatikan tujuan pembuatan Undang-undang tersebut memang adalah baik adanya. Namun dalam penerapan dan logika Hukum, menurut penulis hal ini banyak menimbulkan ketidak sesuaian serta ambur adurnya pembentukan dan pemberlakuan hukum maupun Undang-undang yang berlaku. Berpikir logika tidak akan mungkin Undang-undang lebih pertama muncul dari suatu perbuatan, yang meskipun memang Hukum harus dapat memprediksikan Hukum yang akan berlaku dimasa depan atau Hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) atas hukum yang seharusnya (das sollen). Namun hal itu dalam pelaksanaannya adalah sulit. Hukum tertulis baru ada setelah terjadi perkembangan kehidupan manusia, hukum tertulis baru ada setelah adanya pengetahuan tentang Hukum, sementara kehidupan telah lama berlangsung. dengan demikian manusia pada Zaman dulu bisa dikatakn masih menggunakan aturan-aturan yang tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Kodifikasi tujuannya adalah Kepastian, Sementara dalam perkembangan Ilmu Hukum, Hukum yang baik itu setidaknya memenuhi Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Dengan demikian mengapa asas ini (Legalitas Formil) masih dipertahankan?
Sebenarnya penting dan perlu diteliti bagaimana pelaksanaan asas ini pada awal mula pemberlakuan aturan ini. Mengapa ? Karena asas ini diterapkan sementara Undang-undang atau Kodifikasi ini masih pertamakali. Misalnya terjadi pembunuhan, pada masa sebelum adanya Undang-undang yang mengatur tentang pembunuhan pastinya akan dihukum dengan aturan yang berlaku dalam masyarakat itu atau atas kekuasaan penguasa pada sat itu. Nah, bagaimana pelaksanaan asas ini setelah di undangkan pada setiap aturan yang diatur dalam Undang-undang tersebut, dimana tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada aturan yang mengatur, dan asanya tidak dapat berlaku surut, Apakah perbuatan membunuh itu dibiarkan saja atau dihukum? Menurut penulis jelas di hukum, namun yang menjadi pertanyaan lagi, hukuman itu didasarkan dengan apa? karena asasnya melarang berlakunya surut, sementara undang-undang tertulis baru ada, dan perbuatan jahat telah ada sejak awal mula kehidupan.
Intinya, menurut penulis harusnya asas legalitas formil yang dianut KUHP Indonesia tidak layak untuk berlaku. Hal ini menimbulkan kebingungan Hukum. contohnya, UU No 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM. Undang-undang ini dapat berlaku surut. Hal ini menimbulkan keberagaman aturan yang menyebabkan setiap Undang-undang Indonesia kadang kala jika dipikirkan satu sama lain bertolak belakang dan bertentangan. Sementara sistem Induk Hukum Pidana Indonesia adalah KUHP. Dalam pelaksanaannya pertentangan ini diterobos dengan adanya asas lex spesialis. Menurut penulis, asas ini bisa-bisa saja, karena Undang-undang khusus dapat melakukan penyimpangan dari lex generalis, namun bukan berarti harus bertolak belakang atau menentang, terlebih lagi jika dilihat dalam Konstitusi Indonesia dalam pasal 28I UUD 1945, yang menentang berlakunya Undang-undang yang berlaku surut dengan alasan apapun. Bagaimana dengan hal ini? melihat asasnya lagi UUD 1945 adalah landasan dari seluruh aturan dan Hierarkinya/Kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang. Hal ini kan menyebabkan tidak adanya persesuaian aturan yang menimbulkan gejolak yang sangat membingungkan, dimana belum adanya singkronisasi aturan-aturan yang berlaku.
Kebingungan dan kekurang jelasan berikutnya yaitu mengenai pasal 1 ayat (2) KUHP yaitu : "Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya", artinya suatu Undang-undang dapat berlaku surut apabila adanya perubahan Undang-undang. Dalam pembuatan Undang-undang menurut penulis terdapat 3 alasan umum (dalam arti luas) yaitu Kriminalisasi, deskriminalisasi dan perubahan/penggantian.
Pertanyaannya adalah dimana letak dari berlaku surutnya suatu Undang-undang tersebut? yang menjadi masalah yaitu pada Kriminalisasi suatu perbuatan. Artinya bahwa dalam Kriminalisasi baru dimulai pemberlakuan Undang-undang atas suatu perbuatan atau dengan kata lain membuat aturan (Undang-undang) tentang suatu perbuatan yang dulu bukan dianggap suatu tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Apakah berlaku surut sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) dapat berlaku? Namun sebelum membahas ini, perlu dipahami juga mengenai kriminalisasi, karena penulis merasa ada pemahaman yang kurang mengenai kriminalisasi ini. Kriminalisasi secara singkat menurut penulis yaitu mengkriminalkan atau menjadikan suatu perbuatan yang dulu bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana dalam artian aturan tentang suatu perbuatan tersebut pada dasarnya belum pernah disentuh oleh aturan tertulis atau baru dianggap menjadi suatu permasalahan yang mengganggu ketertiban bermasyarakat/bernegara. Berdasarkan pengamatan penulis masih banyak pemahaman yang kurang, contoh: misalnya UU TIPIKOR, dan UU Terorisme. Apakah Undang-undang ini merupakan Kriminalisasi? Menurut Penulis UU tersebut bukan merupakan kriminalisasi, mengapa? Karena dasar dari Undang-undang tersebut telah ada sebelumnya hanya saja karena aturan yang ada sebelumnya itu dilihat dilihat dari segi hukuman yang diberikan atau diancamkan dirasa tidak sesuai atau perbuatan semakin meluas sehingga perlu di kerucutkan lagi. apakah kriminalisasi hanya sebatas ancaman pidananya? tidak, tapi pada perbuatannya. Misalnya UU TIPIKOR, dalam KUHP telah mengatur misanya suap-menyuap, mencuri (dalam artian di KUHP), jadi apakah ini masih kriminalisasi, begitu juga dengan Terosisme, dalam KUHP telah diatur dan diancam pidana bagi orang yang melakukan ancaman (teror) baik dengan ancaman kekerasan atau tidak, atau perbuatan lain bagi yang melakukan pengerusakan, atau pembunuhan, jadi apakah ini kriminalisasi, menurut hemat penulis ini bukan Kriminalisasi tapi pembaharuan hukum yang berlaku dalam penegakan keadilan akibat adanya perubahan pola dan tingkah laku manusia dalam perkembangan zaman. Kalau dilihat secara ide dasar munculnya Undang-undang TIPIKOR pada awal mula pembuatan, kan masih menarik aturan-aturan yang ada dalam KUHP, misalnya mengenai perbuatan curang dalam pasal 387 KUHP yang diangkat masuk menjadi delik dalam TIPIKOR (UU No. 31 tahun 1999), contoh lain pasal yang digunakan dalam UU TIPIKO tersebut yaitu pasal 388, 210, 415,416, 417, 418, 419 dan masih banyak yang lain.
Kembali lagi pada saat terjadinya Kriminalisasi apakah dapat berlaku retroaktrif? Menurut penafsiran penulis pada aturan asas retroaktif pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai pengecualian asas legalitas, hal ini tidak bisa, karena retroaktif yang dimaksud dalam pasal tersebut hanya pada saat perubahan/peggantian Undang-undang yang sebelumnya memang telah ada sebelumnya. Menurut penulis asas pasal 1 ayat (2) KUHP ini bukan merupakan asas retroaktif dalam arti luas karena hanya fokus pada masa perubahan/penggantian UU saja atau jika dilihat pandangan Prof.Barda Nawawi Arief bahwa pasal 1 ayat (2) ini tidak menganut prinsip retroaktif, tetapi mengatur tentang hukum yang berlaku dalam masa transisi, dimana yang diterapkan adalah yang menguntungkan bagi terdakwa sehingga lebih menganut asas subsidiaritas (lih. Barda Nawawi Arief. 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. hal 3 dan 8. Kelemahan pasal ini yaitu tidak menjelaskan posisi retroaktif itu sendiri pada saat terjadi kriminalisasi, dan dekriminalisasi. Bagaimana apabila terjadi dekriminalisasi, dimana perbuatan terdakwa atau terpidana tersebut kemudian dianggap bukan merupakan tindak pidana, baik itu pada saat pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan maupun pada pelaksanaan pidana? Apakah pelaku masih tetap dipidana atau dilepaskan dari tuntutan hukum? Hal ini menjadi suatu dilema bagi penulis, karena tidak ada diatur maupun dijelaskan. Menurut penulis pelaku (terdakwa/terpidana) harus dilepaskan dari tuntutan hukum baik dalam proses dekriminalisasi pada saat setelah perbuatan dilakukan dalam setiap proses sistem peradilan pidana.
Memperhatikan konsep KUHP Indonesia sekarang (2012) dimana antara kejahatan dan pelanggaran tidak dibedakan lagi sebagaimana KUHP yang masih berlaku. Dalam buku II Konsep KUHP (2012) hanya mengenal Tindak Pidana. Dalam hal ini penulis kurang sepakat dan tidak tepat, hubungannya dalam pelaksanaan asas legalitas dan retroaktif.
Kejahatan menurut penulis yaitu suatu perbuatan yang mana perbuatan itu pada dasarnya mengandung sikap batin yang jahat (mens rea) atau perbuatan tersebut adalah jahat (actus reus), dengan artian bahwa sebenarnya perbuatan tersebut memang jahat dalam kehidupan bermasyarakat baik diatur maupun tidak diatur dalam Undang-undang. Berbeda halnya dengan Pelanggaran, dimana suatu perbuatan dapat dikatakan salah apabila perbuatan tersebut melanggar aturan atau Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Hubungannya dengan asas legalitas dan retroaktif yaitu mengenai undang-undang (tertulis) dan pemberlakuannya. Menurut penulis asas retroaktif merupakan konsekuensi atas pemberlakuan asas legalitas, kemudian asas legalitas itu hanya dapat diberlakukan pada perbuatan yang sifatnya melanggar bukan pada kejahatan. Mengapa? dari pengertian diatas mengenai pelanggaran yaitu bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan salah apabila belum ada Undang-undang yang mengaturnya artinya bahwa perbuatan itu harus melanggar undang-undang yang ada dulu, jadi perbuatan itu baru dapat dikenai pidana atau hukuman apabila pelaku melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang, beda halnya dengan Kejahatan, karena meskipun diatur atau tidak memang pada dasarnya perbuatan tersebut telah jahat jadi kedudukan Undang-undang tidak perlu dipermasalahkan ada atau tidaknya. Apabila perbuatan itu jahat harus ditindak, dihukum, baik melalui Undang-undang atau aturan yang berlaku di masyarakat atau hukum yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum. Dengan demikian asas Legalitas yang baik itu digunakan menurut penulis adalah Legalitas Materiel yaitu mengakui adanya aturan yang ada dalam masyarakat atau Hukum yang tertulis dan tidak tertulis bukan sebagai corong Undang-undang.
Kesimpulan Penulis:
Hukum di Indonesia belum ada singkronisasi substansial pada pembuatan peratuan perundang-undang yang berlaku dan penggunaan teori dan doktrin dalam penerapan dalam undang-undang yang belum tepat. Sistem Induk Hukum Pidana Indonesia (KUHP) perlu diperbaiki seutuhnya (dalam artian berhubungan dengan Buku I, sebagai landasan utama), dalam hal ini khususnya asas legalitas dan retroaktif serta penjelasan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran. Ada baiknya legalitas yang dianut KUHP yaitu Legalitas Materiel, sama halnya dengan yang dianut dalam Konsep KUHP 2012, namun dalam hal kejahatan dan pelanggaran ada baiknya tetap di bedakan agar terdapat kejelasan dalam pelaksanaan asas legalitas dan retroaktif yang digunakan.
"Tulisan Ini hanya sebuah kontoversi dalam pemikiran penulis"
Apabila ada saran dan kritik silahkan di komen!
Semoga dapat menambah Ilmu dan sikap kritis dalam penegakan hukum Indonesia
No comments:
Post a Comment
Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)