EKSAMINASI
PUBLIK
Terhadap
KASUS
TINDAK PIDANA KORUPSI
Dengan
TERDAKWA: SALEHUDDIN
Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Samarinda, Perkara No. 14/Pid.TIPIKOR/2011/PN.SINDA
BAB
I
PENDAHULUAN
Mahkamah Agung
telah membentuk 33 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan khusus yang
berada di lingkungan peradilan umum ini mempunyai wilayah hukum mencakup
provinsi masing-masing. Setelah
semua pengadilan efektif terbentuk, maka proses hukum terhadap semua kasus korupsi, baik yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan ataupun Jaksa pada KPK dilakukan di Pengadilan Tipikor. Akan tetapi, dalam situasi peralihan, sepanjang di daerah tersebut belum terbentuk Pengadilan Tipikor, proses hukumnya dilakukan di Pengadilan Umum. Namun, dalam perkembangannya sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi di daerah menjadi kontroversial karena sejumlah vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. Meskipun secara keseluruhan jumlah kasus korupsi yang divonis bersalah lebih banyak daripada yang divonis bebas/lepas, namun terdapat beberapa hal yang penting dicermati dari sejumlah vonis bersalah tersebut. Dalam penanganan kasus korupsi yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tipikor di daerah terdapat penjatuhan pidana penjara bagi koruptor masih tergolong rendah dan belum memberikan efek jera. Pada umumnya koruptor hanya divonis berkisar 1 hingga 2 tahun penjara. Dan hingga saat ini bahkan tidak ditemui koruptor yang divonis penjara diatas 10 tahun oleh Pengadilan Tipikor di daerah, adanya penjatuhan vonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara namun tidak ada perintah penahanan terhadap terdakwa selain itu adanya penjatuhan vonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara namun terdakwa hanya dikenakan tahanan kota.
semua pengadilan efektif terbentuk, maka proses hukum terhadap semua kasus korupsi, baik yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan ataupun Jaksa pada KPK dilakukan di Pengadilan Tipikor. Akan tetapi, dalam situasi peralihan, sepanjang di daerah tersebut belum terbentuk Pengadilan Tipikor, proses hukumnya dilakukan di Pengadilan Umum. Namun, dalam perkembangannya sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi di daerah menjadi kontroversial karena sejumlah vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. Meskipun secara keseluruhan jumlah kasus korupsi yang divonis bersalah lebih banyak daripada yang divonis bebas/lepas, namun terdapat beberapa hal yang penting dicermati dari sejumlah vonis bersalah tersebut. Dalam penanganan kasus korupsi yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tipikor di daerah terdapat penjatuhan pidana penjara bagi koruptor masih tergolong rendah dan belum memberikan efek jera. Pada umumnya koruptor hanya divonis berkisar 1 hingga 2 tahun penjara. Dan hingga saat ini bahkan tidak ditemui koruptor yang divonis penjara diatas 10 tahun oleh Pengadilan Tipikor di daerah, adanya penjatuhan vonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara namun tidak ada perintah penahanan terhadap terdakwa selain itu adanya penjatuhan vonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara namun terdakwa hanya dikenakan tahanan kota.
Dalam hal sebuah
kasus korupsi dijatuhi vonis bebas/lepas, memang kita tidak bisa langsung
menyalahkan hakim dan pengadilan ketika, karena ada banyak faktor yang dapat
menjadi penyebab vonis tersebut. Akan tetapi, melakukan kajian secara
independen terhadap Putusan, rekaman persidangan dan berkas-berkas terkait
lainnya diharapkan akan memberikan informasi yang lebih dalam hal tentang
sebuah vonis yang kontroversial. Salah satu contoh putusan yang akan dibahas
dalam eksaminasi ini yaitu kasus tindak pidana korupsi dengan
terdakwa: Salehuddin, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda,
Perkara no. 14/Pid.Tipikor/2011/PN.SIMDA. Putusan ini merupakan salah satu putusan yang controversial dan dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Karena putusan hakim menjatuhkan
putusan lepas terhadap diri terdakwa dimana perbuatan dari terdakwa dianggap
bukanlah merupakan tindak pidana sehingga harus melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum.
Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan eksaminasi terhadap putusan ini dengan menggunakan
analisis hukum, untuk menemukan bagaimana fakta-fakta dan penerapan serta
pertimbangan hakim dalam menerapkan hukum tersebut dalam menjatuhkan putusan
itu, penulis akan berusaha mencari apakah benar ada kejanggalan-kejanggalan
yang terjadi dalam putusan hakim tersebut sesuai dengan analisi hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
PUTUSAN PENGADILAN
Dalam mengadili perkara tersebut, pengadilan
memutuskan bahwa terdakwa H.SALEHUDDIN BIN RACHMAN SIDIK terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana, melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala
tuntutan hukum (Onslag van Alle Recht Vervolging), serta Memulihkan hak
terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya.
Berikut kutipan amar putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Samarinda yaitu:
- Menyatakan terdakwa H.SALEHUDDIN BIN RACHMAN SIDIK terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana ;
- Melepaskan terdakwa oleh karena itu darisegala tuntutan hukum (Onslag van Alle Recht Vervolging );
- Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya;……dan seterusnya.
II.
FAKTA-FAKTA YANG TERUNGKAP
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda,
Kalimantan Timur, Selasa (1 November 2011) membebaskan Ketua DPRD Kutai
Kartanegara nonaktif, Salehuddin. Ia didakwa terkait kasus korupsi dana
operasional Dewan pada 2005 senilai Rp 2,6 miliar. Majelis Hakim Pengadilan
Tipikor menyimpulkan, Ketua DPRD Kutai nonaktif dinilai tidak terbukti
melanggar dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang
No 31 tahun 1999. Majelis menyatakan berdasarkan fakta di persidangan, unsure melawan
hukum pada dakwaan primer dan subsider tidak terpenuhi sehingga terdakwa secara
hukum wajib dibebaskan dari segala dakwaan.
Dengan keputusan sidang hari itu, sebanyak 14
terdakwa divonis bebas sejak sidang vonis yang digelar sejak 31 Oktober 2011
lalu. Mereka adalah anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif Suriadi, Suwaji,
Sudarto, Rusliandi, Asman Gilir, Mus Mulyadi, Abdul Rahman, Abu Bakar Has dan
Abdul Sani serta Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif Salehudin. Dan juga
Sutopo Gasif, Saiful Aduar, Idrus Tanjung serta Magdalena. Kasus tersebut
bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada anggaran operasional
DPRD Kutai Kartanegara senilai Rp 2,98 miliar yang diduga disalahgunakan 40 anggota
DPRD Kutai Kartanegara periode 2004-2009, dimana dua di antaranya dihentikan lantaran
meninggal dunia. Sebanyak 23 anggota dewan lainnya disidang di PN Tenggarong. Lima
belas anggota dewan yang disidang di tipikor, jaksa menilai mereka sengaja
menerima pembayaran ganda pada 9 kegiatan operasional DPRD Kukar diantaranya
terkait perjalanan Laporan Eksaminasi Publik – 20 Kasus Tindak Pidana Korupsi 207
dinas dan pelatihan. Masing-masing menerima uang dari dua pos anggaran.
Rata-rata mereka menerima Rp 71-75 juta dari anggaran operasional DPRD Kutai
Kartanegara. Jaksa menjerat para terdakwa dengan pasal primer yakni Pasal 2 Jo
Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah ke dalam UU No 20/2001 Tentang
Pemberantasan Tipikor Junto Pasal 55 Junto Pasal 56 KUHP, lantaran telah
memperkaya diri sendiri dan orang lain. Selain itu, jaksa juga mengenakan pasal
subsider yakni Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah ke dalam UU No 20/2001
Tentang Pemberantasan Tipikor terkait penyalahgunaan wewenang. Dugaan
penyelewengan dana Penunjang Kegiatan Operasional dengan kerugian negara
sekitar Rp 2,6 miliar itu telah menyeret 15 anggota DPRD Kutai Kartanegara
periode 2004-2009 yang kemudian terpilih lagi pada periode 2009-2014. Selain
itu kasus ini juga menyeret 14 anggota DPRD purna tugas periode 2004-2009 serta
mantan Sekretaris DPRD Kutai Kartanegara, yang kini menjabat Asisten IV Sekprov
Kaltim, Aswin dan mantan Bendahara DPRD Kukar Jamhari sebagai terdakwa.
Mengenai fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan baik berupa keterangan saksi-saksi dari Jaksa Penuntut Umum dan
saksi dari Penasehat Hukum, keterangan ahli beserta barang bukti dapat dilihat
dalam putusan yang akan dilampirkan dalam tulisan ini.
III.
ANALISIS HUKUM
Anggaran dipandang sebagai arena perebutan sumber
daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktor-aktor di dalam
lingkaran sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang
memiliki pengaruh terhadap keputusan politik anggaran. Wang (2002) menegaskan, pola
dari kewenangan anggaran secara sederhana termanifestasi pada distribusi
kekuasaan antar para pemain dalam pembuatan kebijakan dan arena politik. Untuk
itu, hadirnya legislatif sebagai representasi warga negara untuk melakukan
kontrol pajak yang dibayarkannya, agar dialokasikan sesuai kebutuhan layanan
yang harus diberikan oleh Negara. Salah satu fungsi dimiliki legislative adalah
fungsi anggaran atau yang dikenal dengan hak budget. Pertanyaan pentingnya
adalah, mengapa legislatif diberikan fungsi anggaran? Sebagai lembaga representatif
dari rakyat, legislatif merupakan tempat yang tepat untuk memastikan anggaran optimal
sesuai dengan kebutuhan bangsa berdasarkan sumber daya yang tersedia.
Partisipasi legislatif yang efektif dalam proses penganggaran, menjamin
pentingnya mekanisme check and balance untuk akuntabilitas dan
transparansi Pemerintah serta memastikan pemberian layanan publik yang efisien.
Persoalannya, fungsi anggaran yang dimiliki
legislatif, layaknya kekuasaan, juga memiliki watak untuk disalahgunakan.
Meminjam analisis Rubbin (1990) dalam buku “The Politics of Public Budgeting”
aktor politik akan berupaya memperjuangkan agar anggaran dapat melayani kepentingan
politik masing-masing. Tradisi transaksional dalam kancah perpolitikan tekini, menjadi
salah satu pendorong lahirnya, legislatif pemburu rente anggaran, mulai dari
tingkat pusat hingga daerah. Kasus-kasus terkini yang diungkap KPK, seperti
Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah dan Wisma Atlet, mengkonfirmasi fungsi
anggaran menjadi instrument transaksional perburuan rente anggaran. Di daerah,
tertangkap tangannya anggota DPRD Kota Semarang, saat menerima suap terkait
pembahasan anggaran, membuktikan penyakit ini juga sudah menjangkit ke daerah. Putusan
bebas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Kalimantan Timur, terhadap
Ketua DPRD Kutai Kertanegara periode 2004-2009, Salehuddin, menambah deret panjang
semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan DPRD divonis bebas. Ironisnya,
putusan ini ditetapkan oleh pengadilan Tipikor, yang merupakan tumpuan publik, ditengah
kering-nya kepercayaan terhadap lembaga peradilan biasa, Berangkat dari sini,
menjadi penting untuk memberikan anotasi dalam prespektif pengelolaan anggaran
terhadap putusan ini. Anotasi ini kan mencakup, analisis anggaran pembayaran
ganda, analisis penyebab dari kerangka hukum keuangan DPRD dan ekses yang
ditimbulkan atas kasus tersebut.
Sengaja
Mendesain Menerima Anggaran Ganda
Pada kurun waktu Januari sampai Desember 2005,
terdakwa yang sekaligus pimpinan DPRD beserta anggota DPRD Kutai Kartanegara
periode 2004-2009, telah menggunakan anggaran pada APBD 2005, pada pos
sekretariat DPRD, khususnya pada mata anggaran Biaya Perjalanan Dinas Khusus
dan Biaya Penunjang Kegiatan/Operasional. Kedua mata anggaran tersebut dipergunakan
untuk melakukan perjalanan dinas luar daerah dan kegiatan peningkatan sumber daya
manusia.
Dalam dakwaannya, Jaksa menyatakan anggota DPRD
Kutai Kertanegara telah menggunakan dua pos anggaran yang berbeda untuk
kegiatan yang sama (meskipun memiliki nama kegiatan yang berbeda). Merujuk
hasil audit BPK, telah terjadi pembayaran biaya perjalanan dinas ganda dari
belanja penunjang kegiatan dan belanja perjalanan dinas khusus serta pembayaran
belanja penunjang kegiatan, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 2,9 miliar,
dan khususnya terdakwa sebesar Rp. 75 juta.
Pembayaran
perjalanan dinas ganda, sudah direncanakan secara sistematis.
Dalam kasus ini, terdakwa dan anggota DPRD tidak
hanya sekedar menerima pembayaran ganda tersebut, namun juga dengan sengaja
merencanakan agar dapat memperoleh pembayaran ganda. Setidaknya terdapat tiga
indikasi yang memperkuat bahwa anggaran ganda ini, dengan sengaja didesain oleh
pimpinan dan anggota DPRD.
Pertama, Pasalnya
kedua mata anggaran ini dialokasikan pada saat APBD Perubahan yang juga disepakati
dalam paripurna DPRD, sehingga diketahui oleh seluruh anggota DPRD termasuk pimpinan.
Kedua pos anggaran yang merupakan sumber anggaran ganda mendapatkan tambahan anggaran
pada APBD Perubahan.
Kedua, tambahan
anggaran tersebut juga dimaksudkan untuk merapel kegiatan perjalanan dinas yang
telah lewat (Januari-Mei 2005).
Ketiga, Pasal 24 PP 24
tahun 2004 menyatakan, belanja penunjang kegiatan DPRD disusun berdasarkan rencana
kerja yang ditetapkan pimpinan DPRD. Oleh karenanya, secara legal terdakwa yang
juga pimpinan DPRD mengetahui, merencankan pembayaran anggaran ganda. Sehingga
cukup jelas, terjadinya pembayaran ganda terhadap perjalanan dinas, bukan tanpa
disengaja atau sekedar menerima, namun sudah didesain untuk agar perjalan dinas
tersebut dapat dibayarkan secara ganda dari mata anggaran yang berbeda.
Pembayaran
perjalanan dinas anggaran ganda dilakukan secara rapel.
Dari sisi pengeloaan anggaran, tidak dikenal istilah
rapel atau pembayaran yang berlaku surut, kecuali terdapat peraturan yang
menjadi landasan dan telah menyatakan sebelum pembayaran dilakukan (seperti
kenaikan gaji PNS, kenaikan sudah lebih dulu diatur). Dalam konteks kasus ini,
Peraturan Bupati sebagai landasan belanja penunjang kegiatan, dikeluarkan bulan
Agustus 2005, dan dibayarkan secara rapel mulai tahun 2004, serta dialokasikan
pada APBD Perubahan tahun 2005. Pembayaran yang dilakukan secara rapel
bertentangan dengan prinsip disiplin anggaran, dan tidak memiliki landasan yang
kuat. Khususnya terkait dengan bukti pembayaran, pembayaran rapel bukti
pembayaran sulit diidentifikasi dan pertanggungjawaban anggaran yang menumpuk.
Cara pembayaran rapel ini, menyebabkan kegiatan yang tidak dilaksanakan atau tidak
memiliki pertanggungjawaban tetap dibayarkan, bahkan secara ganda.
Pembayaran
perjalanan dinas anggaran ganda bersifat lumpsump.
Dalam sistim keuangan negara, hanya penghasilan dan
pembayaran yang melekat pada individu yang diperkenankan bersifat lumpsump.
Perjalanan dinas adalah suatu kegiatan untuk menghasilkan output tertentu.
Dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja, artinya setiap anggaran yang
dikeluarkan dapat diukur keluarannya. Sementara pembayaran dengan cara lumpsump
tidak dapat menjadi tolak ukur standar biaya suatu kegiatan untuk menghasilkan keluaran
tertentu. Berbeda dengan penghasilan yang merupakan komponen belanja tidak langsung
atau belanja yang tidak terpengaruh dengan adanya kegiatan. Pembayaran secara lumpsum
untuk kegiatan ini yang memungkinkan pembayaran dapat dilakukan secara ganda. Bupati
berperan serta dalam melakukan legalisasi pembayaran ganda perjalanan dinas. Dalam
kasus ini Bupati Kutai Kartanegara memiliki peran melakukan legalisasi
terjadinya pembayaran ganda perjalanan dinas, melalui Peraturan Bupati No.
180.188/HK-149/2005 tanggal 29 Agustus 2005 tentang Belanja Penunjang Pimpinan
dan Anggota DPRD Kab. Kutai Kartanegara. Aturan ini membuka ruang terjadinya
pembayaran ganda perjalanan dinas, pemberian secara rapel dan pemberian secara
lumpsump.Aturan ini mengalokasikan item yang sama untuk dalam rincian anggaran
perjalanan dinas, serta berlaku surut mulai tahun 2004 dan dibayarkan secara
paket. Dari sisi tata urutan peraturan perundang-undangan, Peraturan Bupati ini,
telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti, PP ataupun
Undang-undang berkaitan dengan Keuangan Daerah, yang mengatur, bahwa masa
anggaran adalah satu tahun, Januari sampai dengan Desember. Sementara Peraturan
Bupati ini, memerintahkan pembayaran secara rapel berlaku surut sejak tahun
2004. Seharusnya, kasus ini tidak hanya berhenti disini saja, namun perlu
diselidiki apa yang menjadi motif Bupati mengeluarkan aturan ini, karena ini
mungkin saja, terkait dengan transaksional tertentu antara Bupati dengan DPRD.
Tambal
Sulam Kerangka Hukum Keuangan DPRD
Secara historis, regulasi keuangan DPRD telah
berganti empat kali kali. Pasca dikabulkannya permohonan judicial review PP
110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD oleh Mahkamah Agung. Pemerintah
setiap tahun menerbitkan regulasi yang mengatur penghasilan DPRD.
Berturut-turut, mulai tahun 2004 Pemerintah menetapkan PP 24 tahun 2004 Tentang
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang kemudian
diubah dengan PP 37 tahun 2005 dan perubahan kedua melalui PP 37/2006, serta
terkahir PP 21 tahun 2007 sebagai perubahan ketiga, Hal ini menggambarkan tidak
adanya konsep yang jelas dari Pemerintah sehingga hanya melakukan tambal sulam pengaturan
keuangan DPRD. Kita masih ingat kasus-kasus korupsi PP No 110/2000 pada DPRD
1999-2004, di antaranya kasus uang jasa pengabdian atau purnabakti, yang pada
awalnya tidak dibenarkan PP ini. Lalu terbit PP No 24/2004 yang membenarkan
adanya uang purnabakti dan tunjangan perumahan bagi anggota DPRD. Tunjangan
perumahan ini menuai protes dari BPK yang mengharuskan adanya rumah yang
disewa. PP No 37/2005 sebagai perubahan pertama, yang mensahkan uang sewa rumah
yang diberikan tiap bulan tanpa harus menyewa rumah. Kasus DPRD Kukar, biaya penunjang
kegiatan tidak dikenal dalam PP 24/2004 dalam bentuk penghasilan. Namun, kasus
ini menjadi tambalan juga dengan lahirnya, PP No 37/2006 melalui legalisasi
tambahan penghasilan berupa Tunjangan Komunikasi Insentif (TKI) dan Biaya
Penunjang Operasiona Pimpinan (BPOP) yang berlaku surut dan menelan anggaran
daerah dalam jumlah besar. Setelah mendapat kritik dan aksi-aksi penolakan dari
public, akhirnya Pemerintah melakukan lagi perubahan PP ini menjadi, PP No 21
tahun 2007, dengan mengklasifikasikan Tunjangan tersebut berdasarkan kemampuan
keuangan daerah. Pasalnya, kedua tunjangan tersebut sudah terlanjur dikucurkan
dibanyak daerah. Aturan inipun mengharuskan para anggota DPRD periode 2004-2009
untuk mengembalikan kedua tunjangan tersebut.
Modus
Korupsi Anggaran DPRD
Kasus korupsi DPRD Kukar adalah salah satu modus
yang sering dijumpai dan berkahir bebas. Modusnya dilakukan dengan penambahan
mata anggaran baru berupa tambahan penghasilan atau penunjang diluar ketentuan
yang berlaku. Hal ini juga terjadi pada kasus anggota DPRD Sumbar yang menambah
tunjangan diluar PP 110, meskipun akhirnya Mahkamah Agung memvonis bebas.
Termasuk pada era ini adalah tambahan berupa tunjangan uang purna bakti. Modus
lain adalah pembentukan Yayasan fiktif untuk menerima bantuan sosial ataupun menerima
kick back dari bantuan sosial yang dikucurkan atau menjadi instrumen
kampanye. Kasus yang menjerat DPRD Jawa Timur, menggambarkan terjadinya modus
ini. Perjalanan dinas fiktif juga modus yang kerap terjadi baik dieksekutif dan
legislatif. Dalam kasus DPRD Kota Semarang, secara gamblang terlihat
keterlibatan DPRD menerima suap dari pihak eksekutif terkait pengesahan
anggaran. Begitu juga dalam kasus pinjaman yang dilakukan oleh Bupati Pandeglang
dengan melaibatkan DPRD. Merupakan bentuk transaksional, modus terkini korupsi DPRD.
Dalam kasus DPRD Kukar, kasus ini terjadi pada tahun pertama (2005) DPRD
periode 2004-2009. Tidak dipungkiri, dorongan untuk memburu rente dari
anggaran, tidak lain dipergunakan untuk mengembalikan ongkos politik yang
tinggi agar mereka terpilih pada Pemilu 2004 lalu. Selain tuntutan setoran atau
upeti penghasilan dari partai politik
Putusan
Vonis Bebas, Preseden Buruk PP 37/2006
Berdasarkan hasil audit BPK semester I 2009,
sekurang-kurangnya terdapat 80 daerah senilai Rp. 117 milyar kerugian daerah
terkait DPRD. Terjadinya kerugian daerah akibat penghasilan DPRD melebihi
ketentuan ataupun belum mengembalikan tunjangan yang terlanjur diberikan,
sebagai implikasi pemberlakukan PP 37/2006. Dengan adanya vonis bebas kasus
korupsi DPRD Kukar, tentunya ini akan menjadi preseden buruk, bagi kasus-kasus
kerugian daerah lain yang melibatkan anggota DPRD. Karena kerugian hanya
dianggap sebagai keselahan administrasi. Dan ini berarti ratusan milyar uang
negara terancam akan menguap begitu saja.
Terdapat sejumlah persoalan yang membuat putusan
pengadilan ini membebaskan terdakwa yang dimaksud. Ada kelemahan dalam bentuk
dakwaan yang digunakan. Bentuk dakwaan tidak dikenal baik dalam teori maupun
dalam praktek, karena yang demikian bukan dakwaan tunggal, bukan dawaan
subsidairitas, bukan dakwaan alternatif, bukan dakwaan kumulasi dan bukan juga dakwaan
kombinasi atau gabungan. Kalau penuntut umum ragu, bisa saja disusun secara subsidiaritas/berlapis;
yaitu: primair, subsidiair, lebih subsidiair. Atau bentuk alternatif/pilihan; yaitu
Pasal 2 ayat (1) atas Pasal 3 atau pasal 8. Perumusan penerapan Undang-Undang
yang didakwakan keliru, seharusnya berbunyi “sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 …. dan seterusnya. Penerapan Pasal 8 sebagai alternatif
ketiga sangat tidak tepat karena uraian fakta tidak mendukung unsur tindak
pidana penggelapan yang diatur pada Pasal 372 KUHP, sebagaimana akan diuraikan
lebih lanjut di bawah nanti. Sebenarnya dakwaan dapat disederhanakan sehingga
perbuatan materiil yang didakwakan hanya mengenai terdakwa telah menerima
pembayaran ganda (dua kali) terhadap kegiatan yang sama yaitu: Berdasarkan
Keputusan Bupati No. 180.188/HK.41/2005 tanggal 29 Maret 2005 melalui rekening
No. 2.1.3.01.03.1 telah dibayarkan kegiatan Peningkatan Sumber Daya Manusia (pelatihan/workshop)
sebanyak 5 kali dan kunjungan kerja keluar daerah 4 kali dengan jumlah seluruhnya
Rp. 61.924.000,- dan Berdasarkan peraturan Bupati No. 180.1888/HK.149/2005 tanggal
29 Agustus 2005 terdakwa dalam kurun waktu yang sama dan terhadap kegiatan yang
sama yaitu Peningkatan Sumber Daya Manusia (pelatihan/workshop) sebanyak
5 kali dan kunjungan kerja keluar daerah 4 kali dengan jumlah seluruhnya 9 x
Rp. 15.000.000,- = Rp. 135.000.000,- yang oleh ahli BPK menyimpulkan bahwa
terdakwa telah merugikan keuangan negara sejumlah Rp. 75.500.000,-
setidak-tidaknya Rp. 73.076.000,- Dalam proses persidangan pun terdapat
sejumlah kelemahan yang dilakukan oleh penuntut umum. Misalkan Penuntut umum
belum bisa membedakan surat sebagai alat bukti surat , dan surat sebagai alat
bukti petunjuk. Tidak ada analisis fakta, tapi langsung fakta hukum yang hanya menyesuaikan
dengan fakta dalam dakwaan. Dalam analisis yuridis kembali mengulang menganalisis
fakta. Penuntut umum tidak membuktikan berapa masing-masing anggota DPRD yang
lain selain terdakwa juga telah diuntungkan. Kenapa Bupati Kukar yang
menandatangani Perbup tanggal 29 Agustus yang merupakan payung pembayaran ganda
sehingga terjadi pembayaran ganda, tetapi tidak dijadikan sebagai turut serta
bersama peserta yanga lain. Tidak ada perbuatan berlanjut, kalaupun ada, hanya
penerimaan uang pembayaran ganda, yang pertama bulan November 2005 dan yang
kedua Bulan Desember 2005.
Dakwaan
dan tuntutan
Tuntutan JPU point angka 1 dan 2 dalam perkara ini
adalah janggal, sebab bagaimana mungkin JPU dalam menyusun dakwaan, yang mana
sebelum dakwaan tersebut disusun JPU sebelumnya sudah mempelajari semua berkas
baik itu keterangan saksi, bukti surat dan barang bukti yang terkait dengan
perkara kemudian dalam tuntutannya menyatakan bahwa dakwannya tidak terbukti,
apalagi dalam proses persidangan tidak ada kejadian yang luar bisa misalnya
saksi yang mencabut keterangannya, atau barang bukti atau alat bukti yang
penting perannya dalam pembuktian tidak ditemukan. Ini membuktikan bahwa JPU
dalam merususkan dakwaan dalam perkara ini tidak dilakukan dengan
sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum pemberantasan korupsi; Memang tidak ada
salah JPU menuntut seorang Terdakwa dengan Tuntutan bebas, apalagi adagium yang
menyatakan “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah dari pada menghukum 1
orang tidak bersalah (anonim)”, gium ini tepat untuk dilaksanakan jika
memang tidak terdapat alat bukti dan barang bukti yang dapat digunakan untuk
membuktikan Dakwaan JPU terhadap terdakwa, namun tidak untuk kasus ini; Sebenarnya
penting untuk melakukan analisis alasan JPU menyatakan Dakwaan Kesatu Primair ini
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan itu kenapa, namun karena dokumen
Tuntutan JPU tidak tersedia, maka agak sulit untuk mengira-ngiranya, termasuk
untuk mengetahui pertimbangan JPU dalam mengajukan tuntutan hukum dalam artian
hal-hal yang meringankan dan memberatkan Terdakwa; JPU sama sekali tidak
bermaksud untuk menegakan hukum pemberantasan tidak pidana korupsi dalam
perkara ini, hal ini dibuktikan dengan pertama, JPU dalam
Tuntutan point angka 4, menuntut Terdakwa dibawah ketentuan minimal dari
ancaman hukuman, kedua, JPU dalam Tuntutan point angka 4, sama
sekali tidak menuntut agar Terdakwa diperintahkan menjalani hukuman pidana
penjara di dalam penjara, padahal saat ini Terdakwa tidak berada di dalam Penjara,
sehingga dapat dipastikan bahwa kalaupun kemudian dalam perkara ini Terdakwa dinyatakan
bersalah dalam proses peradilan selanjutnya, maka dapat dipastikan bahwa
Terdakwa tidak akan dapat dieksekusi, sebab salah satu asas hukum adalah hakim
tidak boleh ultrapetita;
Pertimbangan
Majelis Hakim
Menimbang, bahwa dari ketentuan Pasal 24 dan pasal
25 PP No. 24 Tahun 2004, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Pos Belanja
Penunjang Kegiatan/Operasinal Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Kutai
Kartanegara dengan kode rekening nomor/digit 2.1.1.08.01.1 yang dianggarkan
dalam Pos Sekretariat DPRD yang diuraikan ke dalam biaya perjalanan dinas
adalah berdasarkan hukum dimana penyusunan dan pengeleloannya dilaksanakan oleh
Sekretariat DPRD;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum yang
terungkap dipersidangan, bahwa PeraturanBupati Kutai Kartanegara Nomor:
180.188/HK-149/2005, tanggal 29 Agustus 2005 yang dijadikan dasar untuk
menerima biaya Penunjang Kegiatan/Operasional Pimpinan dan Anggota DPRD
Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai perwujudan hak mengatur anggaran yang merupakan
produk eksekutif tidak pernah dibatalkan maupun dinyatakan bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi;
Menimbang, bahwa oleh karena Pos Belanja Penunjang
Kegiatan/Operasinal Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara
dengan kode rekening nomor/digit 2.1.1.08.01.1 untuk menunjang kegiatan anggota
DPRD yang diuraikan dalam biaya perjalanan dinas adalah berlandaskan hukum dan
Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 180.188/HK149/2005, tanggal 29
Agustus 2005 yang dijadikan dasar untuk menerima biaya Penunjang Kegiatan/Operasinal
tersebut, tidak pernah dibatalkan maupun dinyatakan bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi, maka dengan demikian perbuatan terdakwa yang telah menerima uang
atas dasar peraturan yang sah adalah suatu perbuatan yang sah dan tidak
bertentangan dengan hukum, kalaupun ada kesalahan mengenai uraian pos yang
dibiayai untuk melaksanakan kegiatan Peningkatan Sumber Daya Manusia dan pos
yang dibiayai untuk melaksanakan Kunjungan Kerja Ke Luar Daerah karena telah
dibayarkan dari Pos Biaya Perjalanan Dinas Khusus, kesalahan tersebut bukanlah
merupakan kesalahan terdakwa. Penerimaan uang yang sah atas dasar Peraturan
Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 180.188/HK149/2005, tanggal 29 Agustus 2005
tersebut, dimana belum pernah ada pembatalan dan dianggap bertentangan dengan hukum,
adalah suatu perbuatan yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum;
Menimbang, bahwa kalaupun kemudian berdasarkan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Repulik Indonesia Perwakilan Provinsi Kalimantan
Timur yang dilakukan kembali pada tahun 2010 sebagaimana dituangkan dalam hasil
pemeriksaan perhitungan kerugian Negara/Daerah atas Penyidikan Perkara Dugaan
Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan Pembayaran Belanja Penunjang Kegiatan
Pimpinan dan Anggota DPRD pada Sekretariat DPRD Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara Tahun Anggaran 2005 No.02/LHP/XIX.SMD/I/2010, tanggal 14 Januari
2010, masih ditemukan adanya kerugian keuangan Negara yang belum dibayarkan
yaitu sebesar Rp.4.500.000.- (empat juta lima ratus ribu rupiah), hal ini
adalah merupakan kesalahan dari Sekretariat DPRD dalam hal menganggarkannya
karena tugas dan tanggung jawab Pengelolaan belanja DPRD adalah merupakan tugas
dan tanggung jawab Sekretariat DPRD sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Ayat
(4) PP No.24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan protokoler dan keuangan Pimpinan dan
Anggota DPRD;
Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan tersebut
diatas, bahwa meskipun terdakwa terbukti menerima uang sebagaimana yang
didakwakan, akan tetapi perbuatan yang dilakukan bukanlah merupakan tindak
pidana, oleh karenanya terdakwa haruslah dinyatakan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslag van recht vervolging). Beberapa catatan perlu ditorehkan
terhadap putusan tersebut. Perlu dipahami bahwa terjadi perbedaan antara dua
orang hakim anggota (hakim ad hock) dengan hakim ketua (hakim decenting
opinion). Kalaupun putusan pengadilan sudah benar, putusan seharusnya
berbunyi “ putusan bebas”. Hakim decenting opinion tidak dapat
mengkonkritkan berapa sebenarnya kerugian negara, khususnya yang diterima
terdakwa. Kerugian keuangan negara adalah Rp. 2.988.800.000,- dan keuntungan
yang diperoleh terdakwa Rp. 73.076.000,- dan telah dikembalikan Rp.
71.000.000,- sehingga uang pengganti seharusnya sebesar Rp. 2.076.000, Tidak
ada perbuatan berlanjut. Kalaupun ada, yaitu perbuatan terdakwa menerima
pembayaran ganda yaitu pada Bulan September dan November 2005. Hakim decenting
opinion tidak dapat menentukan bentuk penyertaan mana yang terjadi.
Bukankah Bupati Kukar terlibat dalam penerbiatan Sk No. 180.188/HK.149/2005
tanggal 29 Agustus 2005 yang merupakan dasar pencairan dana tambahan tersebut.
Pertimbangan telah terbukti perbuatan berlanjut keliru, Karena rapat-rapat
anggota DPR bukan merupakan tindak pidana (kejahatan). Putusan pengadilan tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP
Dissenting
opinion
Bahwa terdapat dissenting opinion, dimana hakim
dissenting tidak sependapat dengan format/susunan putusan yang tidak
memperitmbangkan unsur delik dari pasal yang didakwakan dengan alasan bahwa
untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan pidana yang memenuhi unsur
delik haruslah dipertimbangkan unsur delik dari keseluruhan dakwaan PU.
Unsur
ke 1 : “setiap orang”
Pertimbangan hakim dissenting menyatakan bahwa unsur
setiap orang jika dikaitkan dengan fakta persidangan telah terpenuhi, namun
untuk menyatakan apakah Terdakwa bersalah melakukan perbuatan sebagaimana yang
didakwakan dalam dakwaan Penuntut Umum tersebut Majelis Hakim disenting opinion
akan mempertimbangkan unsur-unsur yang selanjutnya dalam dakwaan kesatu
Subsidair ini;
Unsur
ke 2: “ secara melawan hukum”.
Bahwa jika unsur secara melawan hukum dikaitkan
dengan fakta persidangan, maka berdasarkan pertimbangan hukum Hakim disenting
opinion berpendapat, terdakwa lebih tepat dikenakan dakwaan melakukan perbuatan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukannya sebagai anggota DPRD Kab. Kutai Kartanegara daripada
didakwa melakukan perbuatan melawan hukum “secara hukum” sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 dan beberapa
ahli menyebutkan bahwa penyalahgunaan kewenangan,…dstnya merupakan “species” sedangkan
“melawan hukum” adalah genusnya; sehingga Hakim disenting opinion sependapat dengan
Jaksa Penuntut Umum bahwa unsur “secara melawan hukum” dinyatakan tidak terpenuhi;
Oleh karena ada salah satu unsur yaitu unsur “ secara melawan hukum “ dalam
pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 dinyatakan tidak
terpenuhi maka unsure selanjutnya tidak perlu dibuktikan lagi dan terdakwa
secara hukum wajib dibebaskan dakwaan primair. Dengan dinyatakan bahwa dakwaan
primair dinyatakan tidak terbukti maka selanjutnya Hakim dissenting wajib
mempertimbangkan dakwaan subsidair yaitu melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tindak
Pidana Korupsi.
“Unsur
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.
Hakim dissenting dalam pertimbangannya menyatakan
bahwa unsur dengan tujuan ini merupakan unsur subyektif yang melekat
pada batin sipelaku, sedangkan kata tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan
maksud sebagaimana teori kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk), dan
tujuan adalah suatu kehendak yang ada dalam alam pikiran atau batin si-pelaku yang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan, memang sulit untuk membuktikan suatu
keadaan yang berada dalam pikiran orang lain (si-pelaku) namun hukum hanya
mengatur bagaimana melihat suatu tujuan dalam suasana batin seseorang adalah
dari perbuatan-perbuatannya yang nampak sehingga dari perbuatan itulah kemudian
disimpulkan oleh hakim tentang ada atau tidaknya tujuan batin si-pelaku.
Adapun unsur menguntungkan adalah sama
artinya dengan mendapat untung, yaitu pendapat yang diperoleh lebih besar dari
pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang
diperolehnya, dengan demikian yang dimaksud unsur menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi adalah sama artinya mendapatkan untung
untuk diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dalam ketentuan pasal 3 UU
No.31 tahun 1999 jo.UU No.20 tahun 2001 menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatui korporasi tesebut dengan tujuan dari pelaku tindak pidana Pengertian
“Dengan Tujuan Menguntungkan..” di dalam unsur ini menurut Hakim dissenting opinion
mengandung pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah perbuatan
yang dikehendaki dan diketahui olehnya. Hakim Dissenting mempertimbangkan
unsure dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, dikaitkan dengan fakta persidangan menyatakan bahwa benar terdakwa
telah dengan sengaja bermaksud untuk mendapatkan untung bersama-sama dengan
anggota DPRD Kab. Kutai Kartanegara Periode 2004-2005 yaitu dengan menyetujui
adanya penambahan anggaran untuk menunjang kegiatan DPRD, sehingga unsur dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi.
“Unsur
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatannya
atau kedudukan.”
Hakim Dissenting dalam pertimbangannya menyatakan
bahwa jika diuraikan sub unsur dalam unsur pasal tersebut terdiri dari:
a) Menyalahgunakan
kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan , atau
b) Menyalahgunakan
kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukkan, atau
c) Menyalahgunakan
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
Hakim Dissenting mempertimbangkan unsur
"kewenangan " adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau
kedudukan untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya
dapat dilaksanakan dengan baik; sedangkan unsur "kesempatan " adalah
peluang yang dapat dimanfaatkan pelaku tindak pidana korupsi, peluang tersebut
tercantum dalam ketentuan-ketentuan tata kerja yang berkaitan dengan jabatan
atau kedudukan yang dijabat oleh pelaku tindak pidana; sedangkan unsur
"jabatan " adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggungjawab,
wewenang dan hak seseorang pegawai negeri sipil dalam satuan organisasi negara
ataupun pada lembaga lain yang mempunyai tugas dan wewenang, sedangkan
kedudukan adalah posisi seseorang yang berkaitan dengan kewenangannya. Hakim
Dissenting dalam pertimbangannya mengaitkan unsur di atas dengan fakta persidangan
yang terungkap dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang
bukti bahwa terdakwa adalah benar sebagai anggota DPRD Kab.Kutai Kartanegara
periode 2004-2009 dan 2009-2014 terhitung Agustus 2004; bahwa dalam APBD murni
Kab.Kutai Kartanegara tahun 2005 terdapat pada pospos anggaran pada sekretariat
DPRD sebagai salah satu SKPD tercantum anggaran untuk perjalan dinas dan
belanja penunjang kegiatan pimpinan dan anggota DPRD.
"Unsur
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" ;
Hakim Dissenting dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa unsur "dapat" sebelum frasa merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara menunjukan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formal yaitu adanya tidak pidana korupsi cukup dipenuhinya unsurunsur
perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat, serta bukan saja
perbuatan tersebut telah nyata-nyata berakibat terjadinya kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara (actual loss) melainkan juga meliputi
perbuatan yang telah dapat (berpotensi) menimbulkan kerugian negara atau
perekonomian negara (potential loss) hal demikian sesuai dengan
Yurisprudensi MA RI dalam perkara No.813/K/PID/1987 tanggal 29 Juni 1989 yang menegaskan
: "berapa jumlah kerugian negara akibat perbuatan terdakwa tidak perlu
pasti jumlahnya, sudah cukup adanya kecenderungan timbulnya kerugian
negara". Sedangkan unsur "merugikan" sama artinya menjadi rugi
atau berkurang sehingga yang dimaksud merugikan keuangan negara sama artinya
dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan negara,
sedangkan pengertian keuangan negara menurut Penjelasan Umum UU No.31 tahun
1999 disebutkan bahwa Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segal hak dan kewajiban yang timbul Jika dihubungkan
dengan keterangan saksi, maka menurut Hakim dissenting, unsur dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara telah terpenuhi. "Unsur yang
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan " ; Hakim Dissenting
berpendapat bahwa unsur" yang melakukan atau menyuruh melakukan atau turut
serta melakukan atau bisa juga disebut penyertaan atau secara bersama-sama
telah terpenuhi, dan unsur yang melakukan atau turut serta melakukan telah
terpenuhi. "Unsur beberapa perbuatan meskipun masing masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut". Hakim Dissenting dalam
putusannya memberikan pertimbangan bahwa berdasarkan fakta persidangan, maka
unsur beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut telah terpenuhi;
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
diatas maka Hakim Dissenting berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah
memenuhi seluruh unsur dari dakwaan subsidairitas yaitu pasal 3 jo.pasal 18 UU
No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.pasal 55 ayat (1) ke 1 KHUP
jo.pasal 64 ayat (1) KUHP;
Menimbang, bahwa meskipun dalam terdapat dissenting
opinion dari Hakim Ketua Majelis dengan alasan-alasan seperti diuraikan dalam
putusan yang diucapkan harus mematuhi asas dan ketentuan pasal 182 ayat (6)
yang berbunyi "Pada azasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan
hasil permufakatan bulat kecuali hal itu setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai. Melihat pertimbangan hakim dissenting,
maka berdasarkan fakta persidangan, seandainya memang Hakim dissenting
menggunakan fakta persidangan yang memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang
sah, maka semua unsur di dalam Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001
telah terpenuhi. Dengan menyatakan bahwa semua unsur delik dalam Pasal 3 telah
terpenuhi, maka jelas anasir mengenai melawan hukum dianggap telah terpenuhi,
dikarenakan elemen tersebut tersebar dalam semua unsur-unsur. Seperti misalnya
“unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau unsur menyalahgunakan
kewenangan.” Pertimbangan Majelis Hakim yang tidak menjelaskan mengenai
unsur-unsur delik dari Pasal 3, sebagaimana dijelaskan oleh Hakim Dissenting,
menyebakan ketidakjelasan fakta persidangan mana yang digunakan dalam
menyatakan bahwa unsur delik terpenuhi namun bukan merupakan tindak pidana. Menurut
Utrecht, dalam hal hakim tidak yakin bahwa perbuatan terdakwa adalah suatu
perbuatan yang melawan hukum, maka hakim harus memberi pembebasan dari hukuman
(vrijspraak), karena disini ada anasir yang tidak terbukti (niet
bewezen). 69 Hal ini sesuai dengan asas “in dubio pro reo” yang berarti
bahwa pada umumnya, kalau ada keragu-raguan tentang hal seorang terdakwa dapat
atau tidak dapat dihukum, harus diputuskan secara menguntungkan terdakwa. Juga
ada pepatah yang mengatakan “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada
menghukum seorang tidak bersalah.”
Majelis hakim dalam putusannya memberikan
pertimbangan hukum, bahwa unsur pasal sudah terpenuhi, namun bukan merupakan
tindak pidana sehingga Terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukuman. Hal
tersebut menurut Utrecht haruslah didasarkan bahwa terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena terkena gangguan penyakit atau tidak sempurna tumbuhnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Belanja perjalanan dinas ganda Pimpinan dan DPRD
Kukar tahun 2005, bukan merupakan sebagai pihak penerima saja seperti yang
diputuskan hakim. Terdakwa dan seluruh anggota DPRD, turut serta merencanakan
adanya belanja perjalanan dinas ganda karena diputuskan pada paripurna APBD
Perubahan. Putusan hakim yang menyatakan pengelola keuangan DPRD adalah
sekretariat DPRD, sehingga terdakwa hanya sebagai penerima adalah tidak benar.
Karena, dalam PP 24/2004 secara tegas belanja penunjang kegiatan DPRD disusun
berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan pimpinan DPRD. Artinya bahwa usulan
tersebut berasal dari DPRD, sementara sekretariat hanya berperan sebagai
pengelola anggaran yang nota bene adalah PNS. Pembayaran perjalanan dinas ganda
memiliki landasan aturan juga tidak sepenuhnya tepat, seharusnya hakim secara
jeli melihat bahwa landasan aturan yang dipergunakan adalah bertetangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Vonis bebas kasus ini, akan
menjadi preseden buruk pada kasus-kasus korupsi lain yang melibatkan anggota
DPRD. Kasus korupsi sejenis, hanya dianggap sebagai kesalahan administrasi
semata. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van Alle Recht
Vervolging) atas Terdakwa H. SALEHUDDIN Bin. RACHMAN SIDIK dalam
perkara ini terlihat jelas merupakan hasil kerjasama yang baik dan rapi antara
JPU dengan Majelis hakim, hal ini dapat dilihat dari Surat Dakwaan JPU, tidak
menguraikan secara cermat, rinci, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakannya, mulai dari uraian tindak pidana yang didakwakan sampai dengan peran/tindakan
Terdakwa atas Dakwaan yang dituduhkan kepadanya, serta JPU telah memasukkan
pasal-pasal dalam Surat Dakwaan yang seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam Dakwaan
tersebut; Dalam Surat Tuntutan lebih parah lagi, JPU telah tidak mampu
membuktikan Dakwaan yang ia susun dan ajukan terhadap terdakwa, padahal dalam
persidangan tidak ada kejadian atau keadaan baru seperti pencabutan keterangan
saksi, bukt surat yang hendak diajukan yang berubah dari saat berkas perkara
tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan, hal ini menjadikan Tuntutan JPU menjadi
jangga, serta; JPU dalam Tuntutannya secara jelas terlihat memberikan ruang
kepada majelis hakim untuk menjatuhkan putusan yang melepaskan Terdakwa dari
segala tuntutan hukum karena hanya menuntut Terdakwa dengan satu pasal dalam
tuntutan yang mana pasal tersebut juga memberikan ruang yang luas bag majelis
hakim untuk melepaskan terdakwa; JPU juga dalam tuntutannya terbukti tidak
bersungguh-sungguh dalam memprses perkara ini dengan maksud untuk meneggakan
hukum pemberantasan korupsi, hal in dapat dibuktikan dari tuntutan hukuman yang
di bawah ketentuan minimal ancaman hukuman serta tidak adanya permintaan agar
Terdakwa menjalani hukumannya di penjara, hal ini membuktkan bahwa kalupun pada
akhirnya pengadilan yang lebih tinggi menjatuhkan putusan bersalah terhadap Terdakwa,
tetap saja putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan; Majelis Hakim
yang memeriksa dan memutus perkara ini, telah mengambil keputusan dengan tidak
memperhatikan fakta hukum yang muncul selama prses persidangan serta tidak mempertimbangkan
aspires dan semangat pemberantasan krupsi yang saat ini diinginkan banyak rakyat
Indonesia.
B.
Saran
Sebaiknya para aparatur penegak hukum baik Jaksa,
Hakim maupun kepolisian agar dapat bekerja sama dalam menegakkan keadilan,
bukan untuk mencari kesempatan untuk memeperoleh keuntungan pribadi. Sebagai
aparatur penegak hukum, agar menjalankan tugas dan amanat yang diemban sesuai
tugas masing-masing dalam penegakan hukum, khususnya dalam tindak pidana
korupsi. Agar dapat membantu Negara dalam menyelesaikan pemberantasan korupsi
yang semakin merajalela di pihak-pihak tertentu.
Sumber: Buku Kumpulan Hasil Eksaminasi Publik oleh ICW
http//www.antikorupsi.org
Sumber: Buku Kumpulan Hasil Eksaminasi Publik oleh ICW
http//www.antikorupsi.org
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut