Berbicara tentang keadilan pastinya tidak ada pendefenisian yang dapat dikatakan sama. Konsep keadilan selalu diartikan dengan berbagai devenisi dan selalu dilatarbelakangi dari sisi orang yang mendefenisikan.
- Pandangan kaum awami (pendapat awam) yang pada dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil ”neraca hukum“ yakni “takaran hak dan kewajiban”.
- Pandangan para ahli hukum (Purnadi Purbacaraka) yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
- Hak setiap orang itu besar kecilnya tergantung pada atau selaras dengan besar kecil kewajibannya, sehingga dengan demikian berarti pula seperti dibawah ini.
- Dalam keadaan yang wajar, tidaklah benar kalau seseorang dapat memperoleh haknya secara tidak selaras dengan kewajibannya atau tidak pula selaras kalau seseorang itu dibebankan kewajiban yang tidak selaras dengan haknya.
- Tiada seorangpun dapat memperoleh haknya tanpa ia melaksanakan kewajibannya, baik sebelum maupun sesudahnya, dan dengan demikian pula sebaliknya tiada seorangpun yang dapat dibebankan kewajibannya tanpa ia memperoleh haknya, baik sebelum maupun sesudahnya.
Contohnya
:
- Setiap pemilik suatu benda atau pemegang hak milik atas suatu benda harus membayar pajak kekayaannya atas benda miliknya itu dalam jumlah tertentu yang ditentukan menurut harga atau nilai bendanya tersebut. semakin mahal harga atau nilai benda tersebut, maka semakin mahal pula pajak yang harus dibayar oleh pemiliknya dan demikian pula sebaliknya.
- Upah seorang pegawai tentunya diselaraskan dengan berat ringan pekerjaannya.
Pandangan
para Filosof tentang keadilan ?
- Plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu. Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani” Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan social. Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain.
- Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu; pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang. Atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan.
- Ulpianus, yang mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi).
- Ustinian, yang menyatakan bahwa “keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”.
- Herbert Spenser, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari lain orang”.
- Roscoe Pound, yang melihat indikator keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa perumusan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
- Nelson, yang meyatakan bahwa “Tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan pribadi”.
- John Salmond, yang menyatakan bahwa norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdeka an individual dalam mengejar ke makmuran individual, sehingga dengan demikian membatasi kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan umat manusia.
- Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma 'adil' hanya kata lain dari 'benar'.
- Jhon Rawls, Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.
Keadilan
dalam perpektif filsafat hukum
Penganut
paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan
dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum
alam primer yg bersifat umum menyatakan:Berikanlah kepada setiap orang apa yang
menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem
laedere). Cicero juga menyatakan
bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh
alam.
Paradigma
Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan
hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan
ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian
hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa
lex, summa crux. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang
keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam
paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat
secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah
seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa
yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif
ekonomi.
Perspektif tentang
keadilan sebagaimana dirumuskan di atas, menurut Satjipto Rahardjo bahwa
keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang hakikat manusia
dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia. Lebih lanjut Angkasa mengatakan
bahwa Karena keadilan adalah ukuran yang dipakai seseorang dalam memberikan
terhadap objek yang berada di luar diri orang tersebut. Mengingat objek
yang dinilai adalah manusia maka ukuran-ukuran yang diberikan oleh seseorang
terhadap orang lain tidak dapat dilepaskan dengan bagaimana seseorang tersebut
memberikan konsep atau makna tentang manusia. Apabila seseorang melihat orang
lain sebagai mahluk yang mulia maka perlakuan seseorang tersebutpun akan
mengikuti anggapan yang dipakai sebagai ancangan dan sekaligus akan
mentukan ukuran yang dipakai dalam menghadapi orang lain. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa masalah keadilan tidak dapat dilepaskan dengan
filsafat tentang manusia”.
Terlepas dari berbagai
pandangan konsep keadilan tersebut diatas, dalam hal ini penulis ingin berbagi
pendapat tentang bagaimana konsep keadilan yang sesungguhnya terlepas dari
latarbelakang penulis. Keadilan pada dasarnya
sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan akal dan pikiriran
serta rasionalitas dari setiap individu/masyarkat. Keadilan tidak berbentuk dan
tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif
pencarian keadilan yang kitalihat sehari-hari. Keadilan juga tidak memiliki
ukuran serta takaran yang pasti tentang bagaimana halnya suatu keadaan yang
“Adil”. Secara sederhana kapan keadilan itu dibicarakan dan mengapa? Pada
dasarnya seseorang atau individu/masyarakat mencari keadilan ketika dirasakan
adanya suatu ketidakadilan atau dengan kata lain keadilan muncul ketika adanya
ketidak adilan yang dirasakan.
Namun sebelumnya pelu
dikethui bahwa setiap manusia pada dasarnya terlahir dalam kehendak bebas
(dalam arti luas) masing-masing, oleh karena adanya kehendak bebas dari setiap
individu tersebut akhirnya membentur kehendak bebas dari individu lain,
sehingga secara tidak langsung dan tidak disadari bahwa kehendak bebas dari
setiap individu tersebut ternyata dibatasi oleh kehendak bebas dari individu
lain dan sebaliknya. Dengan berbagai factor dan alasan timbul konflik dalam
masyarakat baik oleh masing-masing indivu yang berusaha mengambil kebebasan
dari individu lain dengan tujuan dan maksud tertentu. Oleh karena adanya
pengambilan kehendak bebas dari seseorang oleh orang lain tersebut, maka timbul
usaha untuk mencari keadilan. Seseorang/individu tidak akan mencari serta
mengetahui keadilan itu seperti apa ketika memang tidak ada kepentingan serta
kebebasannya yang dicurangi atau dilukai. Ketika tidak ada hal-hal yang
mengganggu kepentingan kita/manusia baik itu kebebasan (dalam arti luas atau
kebebasan terbatas) maka menurut saya tidak akan muncul kata tentang
“Keadilan”.
Dengan demikian disini
saya berkesimpulan bahwa keadilan itu merupakan suatu keadaan dimana adanya
suatu keseimbangan antara pelaksanaan kehendak bebas dan kepentingan setiap
individu/masyarakat dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pendapat ini penulis lebih condong pada konsep keadilan menurut Herbet Spenser (baca diatas).
DAFTAR
PUSTAKA
Angkasa, 2010, Filsafat
Hukum ( Materi Kuliah ), Magister Ilmu Hukum Hukum UNSOED, Perwokerto.
Ansori, Abdul Gafur,
2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah Mada Universisty
Press, Yogyakarta.
Fuady, Munir Fuady,
2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor.
Garvey, James, 2010, 20
Karya Filsafat Terbesar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Halim, A. Ridwan, 2005,
Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Kelsen Hans, 2009, Pengantar
Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung.
Manullang, E. Fernando
M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta.
Rato,Dominikus, 2010, Filsafat
Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)