Mencermati
Arah Politik Hukum Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam
konsep berhukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga jenis
hukum, yaitu hukum represif (repressive law), hukum otonom (autonomous law),
dan hukum responsif (responsive law). Titik berat dari konsep berhukum yang
dikemukakan oleh Nonet dan Selznick tersebut adalah aspek Jurisprudence and
Social Sciences dengan bertumpu pada Sociological Jurisprudenc.
Tujuan
hukum represif menurut Nonet dan Selznick adalah ketertiban. Peraturan
perundang-undangan pada hukum represif bersifat keras dan rinci, namun tingkat
keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah. Contoh hukum represif yang
dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu hukum yang menyalahi moral
konstitusionalisme yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para pejabat
pemerintah dan digunakan sebagai instrumen legal untuk menjamin keutuhan dan
keefektifan kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Tipe hukum
represif banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan
yang ada di pihak rakyat.
Pada hukum otonom, peraturan perundang-undangan dibuat luas dan terinci serta mengikat penguasa maupun yang dikuasai. Tujuan dari hukum otonom adalah sebuah legitimasi. Sifat-sifat dari hukum otonom adalah penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi, serta adanya manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi.
Pada
tataran hukum responsif, tujuan hukum yang hendak dicapai adalah kompetensi.
Pada perspektif hukum responsif, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu
yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus
berkompeten dan juga adil, mampu mengenali keinginan publik dan memiliki
komitmen bagi tercapainya keadilan substantif. Hukum responsif merupakan hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatan produk hukum responsif, kelompok-kelompok sosial atau individu dalam
masyarakat diberikan peranan besar dan partisipasi penuh. Hasil dari proses
tersebut adalah produk hukum yang bersifat respon terhadap seluruh kepentingan,
baik masyarakat maupun Pemerintah. Karakteristik yang menonjol dari konsep
hukum responsif adalah pergeseran aturan penekanan dari aturan-aturan ke
prinsip-prinsip dan tujuan, serta pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan
maupun cara untuk mencapainya. Menurut Satjcipto Rahardjo, hukum responsif
merupakan hukum yang lebih peka terhadap masyarakat dalam upaya mewujudkan
kepastian hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam.
Untuk
mencermati arah politik hukum bangsa ini, kita coba melihat ke salah satu
peraturan perundang-undangan di negara ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tsahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang No.13 Tahun 2006
hanyalah merupakan sebagai alat atau sarana, tetapi di dalamnya terletak
hakikat supremasi hukum, sebab kebijakan sebagai alat di dalam pengetian itu
adalah alat untuk mencapai tujuan negara, bahkan alat rekayasa politik
(political engineering). Supremasi hukum harus diletakan sebagai sentral
pengaruh dan pedoman dalam upaya pencapaian tujuan negara melalui politik hukum
nasional.
Saksi
dan koban menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan mewujudkan
supremasi hukum. Keterangan saksi dan korban membantu mengakselerasikan
tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman suatu rezim masa lalu.
Permasalahannya ketika saksi dan korban memberikan keterangan, mereka trauma
dan takut untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Mereka beranggapan
ketidakgunaan untuk memberikan kesaksiaan, disamping ketakutan apabila mereka
bersaksi tanpa disertai dengan proses perlindungan dari negara terhadap dirinya
dan keluarga mereka. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi
pasti bahwa negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan
jalan menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang merupakan wujud
dari apresiasi atas peran sertanya dalam proses peradilan pidana.
Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis UU
PSK) pada awalnya adalah amanat yang didasarkan kepada TAP MPR No. VIII Tahun
2001 tentang Rekomendasi Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang
yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Seperti yang sudah
diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU PSK ini maka perlu
dilihat beberapa ketentuan yang mengarah kepada politik hukum baik yang
bersifat positif (responsif) maupun yang bersifat negative (konservatif),
antara lain sebagai berikut;
Arah
politik hukum yang bersifat positif (responsif) yang tertuang di dalam UU PSK :
- Dengan disahkannya UU PSK ini, adanya suatu peraturan yang mengakomodasi perlindungan ( payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated justice system).
- UU PSK tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga terhadap keluarga saksi dan korban.
- Di dalam UU PSK ini terdapatnya materi pasal-pasal yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis LPSK) (Pasal 11-27 UU PSK) yang akan melaksanakan tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.
- UU PSK memberikan kejelasan dan kepastian tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam Pasal 5 sampai Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.
Kesimpulan
:
Secara umum pembentukan UU PSK ini bertujuan
baik yaitu sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan (payung hukum)
terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia yang
selama ini saksi dan korban tidak merasa terlindungi. Untuk itu, dengan adanya
UU PSK ini melalui LPSK nantinya akan dapat merealisasikan segala apa yang
menjadi hak-hak dari pada saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan baik
dari ancaman, keamanan maupun jiwa mereka. Dengan demikian UU No. 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan type undang-undang/hukum yang
bersifat responsif.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)