Thursday, 10 January 2013

HUKUM RESPONSIF

Mencermati Arah Politik Hukum Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam konsep berhukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga jenis hukum, yaitu hukum represif (repressive law), hukum otonom (autonomous law), dan hukum responsif (responsive law). Titik berat dari konsep berhukum yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick tersebut adalah aspek Jurisprudence and Social Sciences dengan bertumpu pada Sociological Jurisprudenc.
Tujuan hukum represif menurut Nonet dan Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-undangan pada hukum represif bersifat keras dan rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah. Contoh hukum represif yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu hukum yang menyalahi moral konstitusionalisme yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Tipe hukum represif banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat.

Pada hukum otonom, peraturan perundang-undangan dibuat luas dan terinci serta mengikat penguasa maupun yang dikuasai. Tujuan dari hukum otonom adalah sebuah legitimasi. Sifat-sifat dari hukum otonom adalah penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi, serta adanya manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi.
Pada tataran hukum responsif, tujuan hukum yang hendak dicapai adalah kompetensi. Pada perspektif hukum responsif, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, mampu mengenali keinginan publik dan memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan substantif. Hukum responsif merupakan hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatan produk hukum responsif, kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat diberikan peranan besar dan partisipasi penuh. Hasil dari proses tersebut adalah produk hukum yang bersifat respon terhadap seluruh kepentingan, baik masyarakat maupun Pemerintah. Karakteristik yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah pergeseran aturan penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan maupun cara untuk mencapainya. Menurut Satjcipto Rahardjo, hukum responsif merupakan hukum yang lebih peka terhadap masyarakat dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam.
Untuk mencermati arah politik hukum bangsa ini, kita coba melihat ke salah satu peraturan perundang-undangan di negara ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tsahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 hanyalah merupakan sebagai alat atau sarana, tetapi di dalamnya terletak hakikat supremasi hukum, sebab kebijakan sebagai alat di dalam pengetian itu adalah alat untuk mencapai tujuan negara, bahkan alat rekayasa politik (political engineering). Supremasi hukum harus diletakan sebagai sentral pengaruh dan pedoman dalam upaya pencapaian tujuan negara melalui politik hukum nasional.
Saksi dan koban menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan mewujudkan supremasi hukum. Keterangan saksi dan korban membantu mengakselerasikan tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman suatu rezim masa lalu. Permasalahannya ketika saksi dan korban memberikan keterangan, mereka trauma dan takut untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Mereka beranggapan ketidakgunaan untuk memberikan kesaksiaan, disamping ketakutan apabila mereka bersaksi tanpa disertai dengan proses perlindungan dari negara terhadap dirinya dan keluarga mereka. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi pasti bahwa negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan jalan menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang merupakan wujud dari apresiasi atas peran sertanya dalam proses peradilan pidana.
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis UU PSK) pada awalnya adalah amanat yang didasarkan kepada TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Seperti yang sudah diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU PSK ini maka perlu dilihat beberapa ketentuan yang mengarah kepada politik hukum baik yang bersifat positif (responsif) maupun yang bersifat negative (konservatif), antara lain sebagai berikut;
Arah politik hukum yang bersifat positif (responsif) yang tertuang di dalam UU PSK :
  1. Dengan disahkannya UU PSK ini, adanya suatu peraturan yang mengakomodasi perlindungan ( payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated justice system).
  2. UU PSK tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga terhadap keluarga saksi dan korban.
  3. Di dalam UU PSK ini terdapatnya materi pasal-pasal yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis LPSK) (Pasal 11-27 UU PSK) yang akan melaksanakan tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.
  4. UU PSK memberikan kejelasan dan kepastian tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam Pasal 5 sampai Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.


Kesimpulan :
Secara umum pembentukan UU PSK ini bertujuan baik yaitu sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia yang selama ini saksi dan korban tidak merasa terlindungi. Untuk itu, dengan adanya UU PSK ini melalui LPSK nantinya akan dapat merealisasikan segala apa yang menjadi hak-hak dari pada saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan baik dari ancaman, keamanan maupun jiwa mereka. Dengan demikian UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan type undang-undang/hukum yang bersifat responsif.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)