Monday, 1 July 2013

PERMASALAHAN YURIDIS UNDANG-UNDANG TIPIKOR UU NO 31 TAHUN 1999 Jo. UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Yang dimaksud dengan “masalah yuridis” (dalam kebijakan formulasi) adalah : “suatu masalah dilihat dari kebijakan formulasi yang seharusnya“ (menurut sistem yang sedang berlaku); kebijakan formulasi/perumusan yang bermasalah dilihat dari sistem hukum pidana (sistem pemidanaan) yang seharusnya. Jadi bukan dilihat dari sudut:
  1. filosofik (adil/tidak adil) atau teoritik/doktrinal;
  2. pragmatik (manfaat/tdk; dapat diterapkan/tdk.; kecuali, kalau tidak dpt diterapkannya karena ada kekurangan menurut sistem yang seharusnya);
  3. sosiologik (sesuai/tdk. dengan nilai yang hidup dlm. masyarakat);
  4. perbandingan bobot delik;


Permasalahan juridis (contoh)
1. Masalah kualifikasi delik : 
  • Kejahatan/pelanggaran;
  • Permufakatan jahat;
  • Delik aduan;
  • Recidive;
2. Masalah perumusan pidana:
  • Pidana minimal;
  • Pidana denda untuk korporasi; 
  • Masalah pidana mati (dalam UU TPK); 
  • Pidana pengawasan (dalam UU PA) 
  • Pidana “Kurungan pengganti” dalam UU No 5 tahun 1999
3. Masalah Subjek TP
Contoh : Kelemahan dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 ttg Tipikor

1. Masalah kualifikasi delik
Dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tidak dicantumkan kualifikasi delik berupa kejahatan dan pelanggaran
Akibatnya masalah2 yang berkaitan dengan concursus, Daluwarsa penuntutan pidana dan daluwarsa pelaksanaan pidana.
(Contoh : Daluwarsa Penuntutan Pidana untuk kejahatan dan Pelanggaran )Pasal 78 KUHP
  • Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
  • mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 
  • mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
  • mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
  • mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
2. Tidak adanya pedoman pelaksanaan pidana minimal khusus.
  • Bagaimana apabila ada faktor yang memperingan/ memperberat pidana? Apakah pidana minimalnya atau maksimalnya yang diperingan atau diperberat?

3. Tidak adanya aturan atau pedoman khusus yang untuk menerapkan sanksi pidana yang dirumuskan dengan sistem kumulasi.
Contoh : Pasal 2 UU 31/1999 (memperkaya diri) diancam dengan kumulatif dan Pasal 3 UU 31 tahun 1999 (menyalahgunakan kewenangan) dirumuskan dengan kumulatif alternatif, padahal secara teoritis bobot deliknya sama.

4. Pidana Pokok Korporasi hanya denda (Pasal 20).
  • Padahal jika dilihat seharusnya penutupan korporasi/ pencabutan izin usaha dalam waktu tertentu dapat dilakukan sebagai pengganti pidana perampasan kemerdekaan; 
  • Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi.

5. Pasal 30 KUHP (apabila denda tidak dibayar diganti oleh pidana kurungan pengganti selama 6 bulan) tidak dapat diterapkan untuk korporasi.

6. Tidak adanya ketentuan khusus yang merumuskan pengertian dari istilah permufakatan jahat.

7. Aturan peralihan dalam Pasal 43 A UU 20/2001 yang dinilai berlebihan karena secara sistemik sudah ada Pasal 1 ayat (2) KUHP;
8. Formulasi Pidana Mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni Pasal 2 ayat (1) yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2).
Dalam penjelasan:
  • Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
  • Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, Keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan
9. Recidive
  • Dalam Pasal 486 KUHP sebenarnya bisa menjaring pengulangan untuk TPK delik jabatan UU 31/1999 yakni Pasal 8 (eks Pasal 415 KUHP), Pasal 10 (Pasal 417 KUHP ) dan Pasal 12 sub f, g h (Pasal 425 KUHP) Setelah keluarnya UU 20/2001 ketiga pasal KUHP itu termasuk pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 43 B, sehingga tidak bisa dijaring dengan ketentuan recidive dalam KUHP

2 comments:

Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)