Pembuktian merupakan hal terpenting dalam melakukan acara dalam persidangan pengadilan. Pembuktian sangat menentukan terbuktinya unsur-unsur yang dipermasalahkan baik pidana, perdata, tata usaha negara. Dalam pelaksanaan pembuktian pada dasarnya sistem pembuktian diberbagai bidang secara umum memiliki persamaan, hanya tergantung pada jenis alat bukti yang diberlakukan saja.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas dari sudut pandang Hukum Acara Pidana. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting pada acara pidana. Hukum acara pidana memiliki perbedaan yang signifikant dengan acara peradilan lainnya. Hukum acara pidana sangat mengutamakan kebenaran materiel, dimana peran serta serta keaktifan seorang Hakim dalam menemukan kebenaran itu sangat penting, diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya suatu pertaruhan atas hak asasi manusia dari seorang terdakwa. Beda halnya misalnya dengan perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.
Perkembangan Hukum acara pidana dalam sejarahnya menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Sistem atau teori ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Misalnya, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Hal ini menyebabkan para aparatur penegak hukum memaksakan kehendak untuk memaksa terdakwa untuk mengakui perbuatannya meskipun terdakwa bukan pelaku.
Menurut psikolog, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda, pernah dilakukan percobaan disuatu sekolah di Swedia. Para murid dikumpulkan dalam suatu kelas, kemudian seseorang masuk kekelas itu sejenak, kemudian keluar lagi, setelah ditanyakan apa warna pakaian tamu yang datang ke kelas tersebut, maka terdapat perbedaan jawaban. Kesaksian yang diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa, sehinggap menyebabkan Kesaksian menjadi kabur dan sangat relatif.
Untuk mencapai kebenaran materiel itu tidaklah mudah, alat-alat bukti yang tersedia menurut Undang-undang sangat relatif. Sehingga untuk mencapai kebenaran materiel tersebut terjadi perubahan-perubahan dalam memandang posisi terdakwa. Terdakwa yang awalnya dipandang sebagai obyek yang menganut asas Inkisitor (inquisitoir) kadang memaksakan kehendak penegak hukum untuk memperoleh pengakuan terdakwa, berubah menjadikan terdakwa sebagai subyek atau pihak, sama dengan perkara perdata (asas accusatoir).
Sistem atau teori pembuktian lebih lanjutnya yang ada/pernah berlaku yaitu:
a) Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijs Theorie)
Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan selalu kepada undang-undang, sehingga jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh Undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali sehingga teori ini disebut juga pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.
Menurut Simons, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inquisitoir dalam acara pidana.
Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang.
b) Sistem Atau Teori Pembuktian Hanya Berdasar an Keyakinan Hakim Saja (Conviction Intime)
Disadari bahwa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran, sehingga bagaimanapun juga diperlukan juga keyakinan Hakim itu sendiri. Dalam Sistem pembuktian Convition Intime mengutamakan penilaian keyakinan hakim yang didasarkan hati nuraninya sendiri sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah atau didasarkan pada alat-alat bukti pada peraturan perundang-undangan. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian ini pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten, sistem ini memungkinkan Hakim menyebutkan apa saja yang mendasari keyakinan Hakim, misalnya keterangan medium atau dukun.
Sistem pembuktian ini memberikan kebebasan yang sangat luas kepada hakim, sehingga sangat sulit untuk diawasi. Hal ini menyebabkan banyak putusan-putusan yang aneh serta putusan-putusan bebas. Sistem pembuktian conviction in time banyak digunakan oleh negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 15).
c) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian La Convition In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sampai batas tertentu sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa. Ini merupakan jalan tengah atas teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang dan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinan hakim yang mana didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (concluise) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.
Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas karena Hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).
d) Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Sistem pembuktian ini merupakan sistem pembuktian jalan tengah yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Sama halnya pada bagian c) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction In Raisone) diatas, dimana persamaannya bahwa kedua sistem ini berdasarkan keyakinan Hakim. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ada keyakinan Hakim. Sedangkan perbedaannya yaitu bahwa Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction In Raisone) berpangkal pada keyakinan Hakim, tetapi keyakinan itu harus didasaran kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis yang tidak didasarkan pada Undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan Hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. Sedangkan Negatief Wettelijke Bewijstheorie berpangkal pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim.
Oleh karena itu, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia (Adnan Paslyadja, 1997: 16-22).
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya.
Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia.
Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas dari sudut pandang Hukum Acara Pidana. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting pada acara pidana. Hukum acara pidana memiliki perbedaan yang signifikant dengan acara peradilan lainnya. Hukum acara pidana sangat mengutamakan kebenaran materiel, dimana peran serta serta keaktifan seorang Hakim dalam menemukan kebenaran itu sangat penting, diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya suatu pertaruhan atas hak asasi manusia dari seorang terdakwa. Beda halnya misalnya dengan perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.
Perkembangan Hukum acara pidana dalam sejarahnya menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Sistem atau teori ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Misalnya, dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami peristiwa tersebut. Hal ini menyebabkan para aparatur penegak hukum memaksakan kehendak untuk memaksa terdakwa untuk mengakui perbuatannya meskipun terdakwa bukan pelaku.
Menurut psikolog, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda, pernah dilakukan percobaan disuatu sekolah di Swedia. Para murid dikumpulkan dalam suatu kelas, kemudian seseorang masuk kekelas itu sejenak, kemudian keluar lagi, setelah ditanyakan apa warna pakaian tamu yang datang ke kelas tersebut, maka terdapat perbedaan jawaban. Kesaksian yang diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa, sehinggap menyebabkan Kesaksian menjadi kabur dan sangat relatif.
Untuk mencapai kebenaran materiel itu tidaklah mudah, alat-alat bukti yang tersedia menurut Undang-undang sangat relatif. Sehingga untuk mencapai kebenaran materiel tersebut terjadi perubahan-perubahan dalam memandang posisi terdakwa. Terdakwa yang awalnya dipandang sebagai obyek yang menganut asas Inkisitor (inquisitoir) kadang memaksakan kehendak penegak hukum untuk memperoleh pengakuan terdakwa, berubah menjadikan terdakwa sebagai subyek atau pihak, sama dengan perkara perdata (asas accusatoir).
Sistem atau teori pembuktian lebih lanjutnya yang ada/pernah berlaku yaitu:
a) Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijs Theorie)
Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan selalu kepada undang-undang, sehingga jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh Undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali sehingga teori ini disebut juga pembuktian formil (formele bewijstheorie). Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.
Menurut Simons, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inquisitoir dalam acara pidana.
Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang.
b) Sistem Atau Teori Pembuktian Hanya Berdasar an Keyakinan Hakim Saja (Conviction Intime)
Disadari bahwa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran, sehingga bagaimanapun juga diperlukan juga keyakinan Hakim itu sendiri. Dalam Sistem pembuktian Convition Intime mengutamakan penilaian keyakinan hakim yang didasarkan hati nuraninya sendiri sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah atau didasarkan pada alat-alat bukti pada peraturan perundang-undangan. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian ini pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten, sistem ini memungkinkan Hakim menyebutkan apa saja yang mendasari keyakinan Hakim, misalnya keterangan medium atau dukun.
Sistem pembuktian ini memberikan kebebasan yang sangat luas kepada hakim, sehingga sangat sulit untuk diawasi. Hal ini menyebabkan banyak putusan-putusan yang aneh serta putusan-putusan bebas. Sistem pembuktian conviction in time banyak digunakan oleh negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 15).
c) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian La Convition In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sampai batas tertentu sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa. Ini merupakan jalan tengah atas teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang dan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinan hakim yang mana didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (concluise) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.
Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas karena Hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).
d) Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Sistem pembuktian ini merupakan sistem pembuktian jalan tengah yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Sama halnya pada bagian c) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction In Raisone) diatas, dimana persamaannya bahwa kedua sistem ini berdasarkan keyakinan Hakim. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ada keyakinan Hakim. Sedangkan perbedaannya yaitu bahwa Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (La Conviction In Raisone) berpangkal pada keyakinan Hakim, tetapi keyakinan itu harus didasaran kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis yang tidak didasarkan pada Undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan Hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. Sedangkan Negatief Wettelijke Bewijstheorie berpangkal pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim.
Oleh karena itu, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia (Adnan Paslyadja, 1997: 16-22).
Daftar Pustaka
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya.
Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia.
Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)