Dalam hal terjadinya tindak pidana, tahap awal yang dilaksanakan yaitu tahap proses penyelidikan dan penyidikan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelumnya perlu dipahami mengenai apa itu penyelidikan dan penyidikan. Kedua tahap ini harus dapat dijamin telah dilaksanakan oleh Penyidik, karena kedua tahapan proses ini merupakan awal mula menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana beserta alat bukti yang mendukung. Pada kedua tahap ini secara substansial terdapat perbedaan yang mendasar, yang meskipun dalam pelaksanaannya para penyidik lebih memfokuskan pada tahap penyidikan. Perbedaan Penyelidikan dan Penyididikan dapat dilihat dari segi tujuan tindakan.
Dalam pasal 1 angka 5 KUHAP, "Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini." Artinya bahwa tahap penyelidikan bertujuan untuk menemukan akan ada atau tidaknya suatu tindak pidana. Tahap penyelidikan dilakukan oleh Penyelidik sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, "pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan." Beda halnya dengan tahap Penyidikan, dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya." Tujuan Penyidikan adalah untuk menemukan alat bukti yang mendukung tentang terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 KUHAP, "Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan".
Pentingnya mengenai Bukti Permulaan terkait tindakan pada orang yang disangkakan atau diduga melakukan tindak pidana yaitu penangkapan terhadap tersangka. Di dalam pasal 17 KUHAP diatur bahwa : "perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasan pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 14 KUHAP yang menjelaskan mengenai defenisi tersangka sebagai seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
KUHAP dalam hal penjelasan tentang bukti permulaan tidak mendefenisikan secara jelas dan tegas dalam penggunaan dan pelaksanaannya. Jika dilihat Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Pasal 184 KUHAP mengatur mengenai alat bukti yang sah. Sebelumnya, di dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang seringkali dikenal sebagai alat bukti yang sah dalam penjatuhan putusan oleh hakim, antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Yang menjadi pertanyaan dan permasalahan dalam penggunaan bukti permulaan ini oleh aparatur penegak hukum khususnya penyidik yaitu megapa sering terjadi bentuk kesalahan berupa aparatur penegak hukum yaitu berupa "SALAH TANGKAP" apabila telah melakukan seluruh administrasi penyidikan secara baik dan benar. Penulis berpandangan bahwa penting dilakukan suatu penelitian mengenai kejadian-kejadian salah tangkap oleh penyidik . Paling mirisnya lagi hasil penyidikan tersebut dapat sampai hingga putusan hakim. Apakah penyidik penuntut umum serta hakim di Indonesia ini tidak paham akan aturan maupun hukum yang seharusnya dilaksanakan. Dimana letak alat bukti maupun bukti permulaan tersebut sehingga bisa terjadi salah tangkap, apakah alat bukti dan bukti permulaan ini dikesampingkan? atau bukti permulaan maupun alat bukti tersebut diciptakan sendiri demi tugas ? atau karena aturannya yang lemah, tidak jelas dan tegas sebagaimana syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan?
Dalam pasal 1 angka 5 KUHAP, "Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini." Artinya bahwa tahap penyelidikan bertujuan untuk menemukan akan ada atau tidaknya suatu tindak pidana. Tahap penyelidikan dilakukan oleh Penyelidik sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, "pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan." Beda halnya dengan tahap Penyidikan, dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya." Tujuan Penyidikan adalah untuk menemukan alat bukti yang mendukung tentang terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 KUHAP, "Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan".
Pentingnya mengenai Bukti Permulaan terkait tindakan pada orang yang disangkakan atau diduga melakukan tindak pidana yaitu penangkapan terhadap tersangka. Di dalam pasal 17 KUHAP diatur bahwa : "perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasan pasal 17 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 14 KUHAP yang menjelaskan mengenai defenisi tersangka sebagai seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
KUHAP dalam hal penjelasan tentang bukti permulaan tidak mendefenisikan secara jelas dan tegas dalam penggunaan dan pelaksanaannya. Jika dilihat Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Pasal 184 KUHAP mengatur mengenai alat bukti yang sah. Sebelumnya, di dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang seringkali dikenal sebagai alat bukti yang sah dalam penjatuhan putusan oleh hakim, antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Yang menjadi pertanyaan dan permasalahan dalam penggunaan bukti permulaan ini oleh aparatur penegak hukum khususnya penyidik yaitu megapa sering terjadi bentuk kesalahan berupa aparatur penegak hukum yaitu berupa "SALAH TANGKAP" apabila telah melakukan seluruh administrasi penyidikan secara baik dan benar. Penulis berpandangan bahwa penting dilakukan suatu penelitian mengenai kejadian-kejadian salah tangkap oleh penyidik . Paling mirisnya lagi hasil penyidikan tersebut dapat sampai hingga putusan hakim. Apakah penyidik penuntut umum serta hakim di Indonesia ini tidak paham akan aturan maupun hukum yang seharusnya dilaksanakan. Dimana letak alat bukti maupun bukti permulaan tersebut sehingga bisa terjadi salah tangkap, apakah alat bukti dan bukti permulaan ini dikesampingkan? atau bukti permulaan maupun alat bukti tersebut diciptakan sendiri demi tugas ? atau karena aturannya yang lemah, tidak jelas dan tegas sebagaimana syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan?
No comments:
Post a Comment
Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)