Sunday 9 June 2013

KONTROVERSIKU : PERMASALAHAN KRIMINALISASI KUMPUL KEBO DALAM RKUHP 2012

Akhir-akhir ini muncul masalah dan kontroversi atas pengajuan rancangan KUHP dan KUHAP Indonesia yang baru ke DPR dengan adanya beberapa substansi yang dianggap kurang layak diatur dalam sistem induk Hukum Pidana dan acara pidana, yaitu mengenai adanya pasal-pasal yang merumuskan (Kriminalisasi) atas perbuatan yang dianggap oleh Tim Perumus RKUHP dan RKUHAP perlu dilakukan Kriminalisasi. Pasal-pasal tersebut yaitu yang berhubungan dengan Delik Santet, Kumpul Kebo dan Penyadapan. Sebenarnya penggunaan Istilah ini menurut penulis kurang tepat bagi orang Hukum khusunya Delik santet dan kumpul kebo, karena memang yang diatur dalam RKUHP, tidak sepenuhnya merumuskan Istilah tersebut. Dalam pengajuan rumusan RKUHP diatas untuk disahkan oleh DPR terdapat berbagai pro-kontra terkhusus akan ke tiga substansi diatas menyangkut karena sifatnya secara umum mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan tersebut. Dalam tulisan ini saya akan membahas salah satu dari tiga hal tersebut diatas yaitu masalah perumusan KUMPUL KEBO, dalam hal ini penulis hanya menggunakan pola pikir yang sederhana.

Sebelumnya perlu dipahami mengenai rumusan KUMPUL KEBO yang dimaksud dalam RKUHP tersebut, yaitu dimuat dalam pasal 485 RUHP "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri diluar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II".
Berdasarkan perumusan tersebut diatas saya terlebih dahulu mengungkapkan pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat yang sering muncul. Menurut Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah yang mana juga merupakan Ketua Tim Perumus RKUHP tersebut menyatakan bahwa hidup bersama layaknya suami isteri diluar perkawinan yang sah atau istilah yang biasa digunakan "KUMPUL KEBO" harusnya tidak perlu dipidana, karena menurut beliau jika pasal ini diloloskan dapat menimbulkan dampak baru, misalnaya orang asing yang datang ke Indonesia dapat terkena dampak sanksi tersebut. Selain itu juga apabila ada seorang bujangan yang melakukan hubungan layaknya suami-isteri diluar perkawinan apabila diganjar hukuman 1 tahun akan sangat riskan dampaknya. Menurut beliau juga bahwa rumusan ini sangat riskan dan rawan menimbulkan fitnah, karena tidak tegas menjelaskan sifat dari delik ini aduan atau tidak. Namun menurut beliau hal ini harus bersifat adauan, tapi masalahnya siapa yang mengadu ? apakah masyarakat, RT, RW. Karena memungkinkan untuk melakukan penjebakan yang berupa fitnah, sehingga perlu dipikirkan siapa yang berhak atau berwenang untuk mengadu. Terlebih lagi dalam pelaksanaan atau praktek dilapangan dapat menimbulkan abuse of power oleh aparat kepolisian berupa penjebakan.
Namun Prof. MULIADI yang juga merupakan salah satu tim perumus RKUHP ini berpendapat bahwa suatu hukum yang baik harus menyerap 4 (empat) aspirasi; 1) satu adalah aspirasi pemerintah supra struktur itu sering kita dengar karena mereka yang sehari-hari dan berpengalaman menjalankan pemerintahan; 2) yang kedua adalah aspirasi infrastruktur yaitu inspirasi masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat; 3) aspirasi kepakaran, karena disini orang bicara prinsippal satu azas dan 4) aspirasi global melalui konvensi-konvensi internasional. Jadi 4 (empat) hal itu digunakan waktu melakukan penyusunan rancangan KUHP dan dan hal tersebut sudah melalui perdebatan dan diskusi dengan guru besar lain dan juga dari negara-negara lain serta telah diseminarkan berkali-kali. Jadi khusus mengenai pihak ketiga berkaitan dengan kejahatan kesusilaan khusunya perzinahan dibagi menjadi tiga hal yaitu : 1) perzinahan adultcrime. Adultcrime itu adalah perzinahan yang sama seperti di KUHP sekarang yang terikat dengan perkawinan salah satu. 2) fornication yaitu persetubuhan antara laki-laki dan perempuan dewasa yang tidak terikat dengan perkawinan. 3) cohabitation, yaitu kumpul kebo dimana orang hidup bersama diluar perkawinan dalam suatu rumah atau suatu tempat. Habis ini menimbulkan masalah yaitu yang disebut dengan fornication dan cowhibitation itu, karena dalam KUHP sekarang tidak ada. Tetapi kita memasukkan itu, misalnya orang kumpul kebo disuatu kampung muslim misalnya. Itu kan menurut defeinisi tokoh-tokoh islam yang kita kenal, zinah itu tidak harus terikat dengan ikatan perkawinan, hubungan seksual antara yang tidak sah dibawah perkawinan atau diakui oleh masyarakat terikat perkawinan, itu suatu perzinahan. Jadi kalau isteri tidak ada, suami tidak ada yang bisa bereaksi adalah lingkungan. Lingkungan adalah pihak ketiga ini, keberatan misalnya ketua RTnya atau tokoh masyarakat dalam hal ini dia berhak untuk mengadu. Begitu juga dengan cowhibitation (kumpul kebo) dan fornication yaitu persetubuhan orang dewasa diluar kawin. Jadi reaksi masyarakat juga harus dipertimbangkan. Di daerah-daerah tertentu yang namanya kumpul kebo itu diizinkan misalnya di Mentawai di Baku Piara dan beberapa daerah dan sebagainya, itu mereka tidak apa-apa, dibiarkan saja. Tapi di masyarakat yang menolak itu, mereka berhak menolak itu atau mengadu sebagai delik aduan. Ini jalan keluar, jalan tengah.
Permasalahan lainnya dalam rumusan konsep KUHP ini yaitu mengenai orang yang sama-sama tidak terikat perkawinan melakukan hubungan badan bisa terkena perjinahan tapi orang dewasa yang sejenis melakukan hubungan badan malah halal menurut rumusan ini. Namun menurut Prof. Muliadi mengenai masalah homoseksual, hal ini memang menjadi pro-kontra di seluruh dunia. Apa yang dimasukkan dalam RKUHP ini pada dasarnya meniru dari KUHP yang lalu. Menyinggung masalah homoseksual harus dipidana harus perlu dipikir dulu. Jadi yang dinyatakan sebagai homoseksual disitu disebut adalah dewasa, terhadap anak-anak dibawah 18 tahun. Jadi kalau antar anaka-anakpun atau sama-sama dewasa di KUHP sekarang pun tidak ada diatur.
Setelah memperhatikan Kedua pendapat pakar hukum tersebut diatas penulis hendak mengeluarkan sedikit pendapat atas perumusan KUMPUL KEBO sebagaimana dimaksud dalam RKUHP tersebut. Dalam hal ini penulis lebih condong terhadap pendapat Prof. Andi Hamzah, dimana memang tidak semua perbuatan buruk itu harus dipidana, karena memang sifat dan fungsi hukum pidana (pemidanaan) itu sebagai alternatif terakhir (ultimum remedium), meskipun memang prinsip filosofis dari pembuatan aturan ini untuk mendisiplinkan sebagai tugas dari negara terhadap kehidupan bermasyarakat. Ada benarnya pendapat dari Prof. Muliadi dimana dibeberapa daerah terjadi penolakan atas perbuatan ini (KUNPUL KEBO) dan dianggap mengganggu ketertiban bermasyarakat. Namun kembali lagi pada point 2 sebagaimana dimaksud oleh Prof. Muliadi mengenai sifat dan karakteristik dari hukum yang baik (baca diatas) yaitu aspirasi infrastruktur, mendengarkan aspirasi masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, karena pada hal ini muncul penolakan yang banyak atau muncul reaksi dari masyarakat yang menolak atau kurang sependapat akan rumusan ini dengan pertimbangan kekhawatiran munculnya dampak negatif baru seperti misalnya fitnah, dan ini menurut saya logis dan dapat diterima, dan hal ini juga diakui oleh Prof. Andi Hamzah. Menurut saya ada kekurang sinkronan penggunaan asas-asas hukum pidana itu sendiri yang termuat dalam RKUHP ini, dan memang menurut saya ini telah biasa dilakukan oleh pembuat Undang-undang. Mengapa penulis mengatakan hal demikian ? Berhubungan dengan Asas legalitas atau pengakuan atas hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat. dalam Pasal 2 RKUHP 2012 diatur mengenai pengakuan atas hukum yang hidup dalam masyarakat (Hukum tidak tertulis) sepanjang masih sesuai dengan pancasila. Sementara dalam perkembangan zaman ini, tidak semua lapisan masyarakat Indonesia dapat mengikuti secara serentak atau bersamaan sehingga menimbulkan ketimpangan baik dalam hukum maupun perilaku dan tindakan manusia itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Harusnya Negara melalui pemerinatahannya harus bisa melindungi hal tersebut.
Jika dilihat dalam segi penerapan hukum (Undang-undang) harus berlaku secara umum, dan ini banyak di kesampingkan oleh pembuat Undang-undang. Pembuat Undang-undang seolah-olah menganggap masyarakat tidak tau apa itu hukum yang baik dan benar. Sehingga muncul Undang-undang dengan berbagai pengecualian pemberlakuan, apakah ini telah sesuai dengan Konsep Negara Hukum? Semua sama dihadapan Hukum (equality before the law), menurut saya ini telah terjadi penyimpangan. Namun jika ini dipermasalahkan, pendapat yang sering muncul adalah pembuatan dan pelaksanaan Undang-undang ini telah menjadi jalan tengah, mungkin benar tapi negara harusnya dapat mengakomodir agar Hukum (undang-undang) dapat berlaku secara umum dan satu.
Kembali lagi pada asas legalitas yang dianut dalam RKUHP ini yaitu legalitas Materiel beda halnya dengan KUHP saat ini yaitu legalitas formil. Karena masih banyaknya lapisan masyarakat yang belum dapat mengikuti perkembangan ini khususnya Hukum pidana harusnya negara harus mengembalikan proses pelaksanaan pemberian tindakan atas perbuatan ini (Kumpul Kebo), terkait adanya ketimpangan modernisasi lapisan masyarakat Indonesia. Apabila disuatu masyarakat tertentu perbuatan tersebut dianggap mengganggu ketertiban bermasyarakat, biarkan aturan yang hidup di masyarakat tersebut yang menyelesaikan karena ada alasan tertentu dan diyakini oleh masyarakat tersebut mengapa perbuatan itu dilarang dan bagaimana seharusnya dalam bermasyarakat, kemudian ketika perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang mengganggu ketertiban bermasyarakat dalam masyarakat tersebut mengapa harus di hukum? Ketika harus menggeneralkan perbuatan ini menjadi suatu Tindak Pidana, sementara dibeberapa daerah perbuatan ini bukan merupakan suatu perbuatan yang dilarang (tentunya karena ada alasan tertentu) akan menimbulkan dampak negatif, menurut penulis dalam hal ini aplikatif tujuan pembuat Undang-undang sama saja membunuh satu tikus dengan menggunakan bom Nuklir. Apa jadinya ketika adanya aturan yang terlalu berlebihan.
Menurut Penulis penempatan perbuatan (Kumpul Kebo) menjadi suatu perbuatan yang tidak baik adalah merupakan salah satu produk atau bagian dari aturan yang hidup dalam masyarakat dan telah lama ada dengan berbagai sanksi atau tindakan yang dikenakan terhadap pelaku atau dengan kata lain perbuatan ini telah lama ada sejak dahulu namun baru sekarang dianggap sebagai tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam buku 2 RKUHP ini.
Setelah memperhatikan alasan-alasan filosofis dan sosiologis tersebut diatas, penulis dalam perumusan pasal ini menemukan berbagai kejanggalan yaitu dilihat dari segi rumusan tindak pidana ini. 
Pertama, perumusan "....diluar perkawinan yang sah...", jika dilihat dalam Undang-undang perkawinan pasal 2 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaaanya, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Memperhatikan bahwa kumpul kebo hendak dikriminalisasikan menjadi suatu tindak pidana muncul pertanyaan bagi penulis yaitu bagaimana dengan "NIKAH SIRI"?, mengapa kumpul kebo dipidana sedangkan Nikah Siri tidak? Keharusan untuk mencatatkan perkawinan telah diatur dalam undang-undang baik itu dalam KHI pasal 4-pasal 5. Penulis bukan bermaksud hendak mengkriminalkan Nikah Siri namun karena sampai sekarang belum ada aturan perundang-undangan yang mengatur tentang Nikah Siri, dalam hal Penulis hendak melihat masalah Legal dari perkawinan itu sendiri dan fenomena yang muncul dalam masyarakat. Permasalahannya adalah banyak muncul fenomena nikah siri dan fenomena talak siri, sehinggga menurut penulis fenomena banyaknya talak siri telah menurunkan dan merendahkan harkat dan martabat wanita dan ini menurut saya lebih rendah dibanding dengan Kumpul Kebo. Masalah lain berhubungan dengan Nikah Siri yaitu bagaimana cara membuktikan Kumpul Kebo dan bagaimana cara membuktikan Nikah Siri, karena memang kedua-duanya secara akta tidak dapat dibuktikan, karena bisa saja pelaku berdalih telah Nikah Siri. Jika ingin dibuktikan apakah Nikah Siri atau tidak sepertinya sangat Lucu karena nama juga perkawainan yang samar-samar atau yang rahasia atau yang tidak dikehendaki kedua pasangan untuk diketahui umum, kalau harus dicari siapa saksinya atau walinya menurut Penulis sangat Lucu. Terlebih lagi munculnya Fenomena Kawin Kontrak. 
Kedua, perumusan "... melakukan hidup bersama sebagaimana suami isteri....". Hal yang paling sulit dibuktikan adalah mengenai hubungan sebagaimana suami isteri khusunya hubungannya dengan "penetrasi" (hubungan badan), ini kan harus dibuktikan telah dilakukan oleh pasangan tersebut sama halnya dengan "Zina" pembuktiannya sangat sulit. Mengapa kumpul kebo itu didefenisikan sebagai hidup bersama tanpa ikatan perkawinan? mengapa titik tolaknya adalah perkawinan? artinya adalah untuk menghindari tindakan atau hubungan badan tersebut tanpa adanya ikatan perkawianan, harusnya bila hidup bersama secara formil dilarang harus ada landasan filosofisnya. 
Ketiga, mengenai ancaman pidananya. Apakah melakukan kumpul kebo dapat dikatakan juga telah melakukan Zina? Karena dalam RKUHP Zina itu dapat berupa sebagaimana pembagian jenis-jenis Zinah diatas menurut prof. Muliadi, yang salah satunya yaitu Fornication yaitu hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang sama-sama tidak terikat perkawinan (lih. pasal 483 RKUHP). Zina dalam hal ini dipidana penjara 5 tahun sedangkan kumpul kebo hanya 1 tahun. Sepertinya ada ketimpangan dalam pemberian sanksi pidana, mengapa zina lebih berat dibandingkan dengan Kumpul Kebo, padahal kumpul kebo dalam hal ini kan termasuk memuat zinah juga.
Menurut penulis, pengkriminalisasian kumpul kebo ini masih perlu dilakukan pengkajian lebih dalam lagi agar tidak menimbulkan respon yang kurang baik dari masyarakat.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)