PERBANDINGAN
KUHP INDONESIA dengan RANCANGAN KUHP TAHUN 2012
BAB
I : Tentang ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan
pidana
1.
Menurut waktu
Pasal 1 s/d pasal 2
RKUHP mengatur tentang asas legalitas dibandingkan dengan KUHP sekarang, dimana
KUHP menganut asas legalitas formil sedangkan RKUHP mengatur dengan adanya
keseimbangan antara legalitas materiel yang tercentum dalam pasal 2 dan
legalitas formil pasal 1 ayat (1) sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang
legalitas formil pada pasal 1 ayat (1). Didalam pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP
terdapat ketentuan : Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan dan
Berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.
2.
Menurut tempat
Pada RKUHP disebutkan dan
dijelaskan secara terbuka (jelas) mengenai Tempat pada bagian kedua yang
meliputi Asas Wilayah atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan
Asas Nasional Pasif. Terdapat pada pasal 4-8 RKUHP. Asas wilayah RKUHP
menambahkan tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan
atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Dalam konsep Di dalam RKUHP dijelaskan
mengenai Waktu Tindak Pidana dan Tempat Tindak Pidana sedangkan hal ini tidak
dijelaskan di dalam KUHP. Asas nasional pasif pada RKUHP menambahkan tindak
pidana korupsi, pencucian uang, perekonomian, perdagangan, kartu kredit,
keamanan peralatan komunikasi elektronik.
BAB
II: Tentang tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
1.
Tindak Pidana
Pada pasal 11 RKUHP
dijelaskan secara rinci mengenai apa itu tindak pidana atau pengertiannya dan
kriteria mengenai suaatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana
yaitu perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat,
tidak ada alasan
pembenar.
Serta di dalam pasal 12 RKUHP juga dijelaskan bahwa hakim dalam mengadili suatu
perkara harus mempertimbangkan dan mengutamakan keadilan baik ketika adanya
pertentangan yang tidak dapat dipertemukan dan hal ini tidak terdapat dalam
KUHP, dan hanya merupakan doktrin yang diakui dalam pelaksanaanya.
Mengenai Permufakatan
Jahat di dalam KUHP sendiri sebenarnya sudah tercantum pada pasal 88 yang
berbunyi “dikatakan ada permufakatan jahat apabila ada dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan suatu kejahatan” namun itu hanya sebatas pengertian.
Sedangkan di dalam pasal 13 RKUHP mengatur tentang permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana,
jika ditentukan secara tegas dalam Undang‑Undang.
Pidananya adalah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok
untuk tindak pidana yang bersangkutan, apabila diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup,
dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Sedangkan Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak
pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan.
dalam
pasal 14 RKUHP diatur pengecualian
yaitu apabila pelaku menarik diri dari kesepakatan itu; atau mengambil
langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
Di dalam pasal 15 RKUHP mengatur mengenai Persiapan pada Buku I, akan
tetapi sebenarnya memepersiapkan suatu tindak pidana telah diatur dalam KUHP
pada Buku II pasal 110 ayat (2) sampai (4). Ini merupakan hal baru pada buku I
RKUHP. Persiapan
melakukan tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau
menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan
atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi
untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi
penyelesaian tindak pidana, termasuk jika pembuat dengan sengaja mendapatkan,
membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau mempunyai dalam
persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat
penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan
untuk melakukan tindak pidana. Pidana
untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan apabila diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun. Pidana tambahan sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. Pengecualian terhadap delik Persiapan
terdapat pada pasal 16 RKUHP yang mengatakan bahwa Persiapan melakukan tindak
pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau
mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.
Percobaan/pogging di
dalam KUHP sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 53-54 mengenai syarat
percobaan ( pasal 53 ) dan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana (
pasal 54 ) namun di dalam RKUHP terdapat hal-hal baru yang mengatur mengenai
Percobaan yang terdapat dalam pasal 18-20 RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana
jika setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) yaitu:
a. pembuat
tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela;
b. pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah
tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya. Kecuali dalam hal perbuatan telah
menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan
tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak
pidana tersebut.
Pasal
20 RKUHP mengatur dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak
pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat
tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana
tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak
pidana yang dituju. Pidana pembantuan
tidak dipidana apabila ancaman pidana hanya berupa pidana denda kategori I ( Rp
6.000.000,00 ), seperti yang tercantum di dalam pasal 22 ayat (3) RKUHP.
Pengecualian
terhadap delik penyertaan diatur di dalam pasal 23 RKUHP yang berbunnyi sebagai
berikut : Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan
pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
Pengulangan
diatur didalam Buku I RKUHP pasal 24 yang berbunyi : Pengulangan tindak pidana
terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5
(lima) tahun sejak:
a. menjalani
seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana
pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiban
menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa.
Di
dalam kuhp sudah diatur mengenai pengulangan tindak pidana atau recidive namun
diatur dalam buku II ( tentang kejahatan ) yaitu pada pasal 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2),
216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Di
dalam KUHP memang mengatur tentang mengajukan dan menarik kembali suatu
pengaduan yang terdapat pada pasal 72-75, akan tetapi RKUHP menjelaskan lebih
terbuka mengenai delik aduan yang terdapat pada pasal 25. Serta pasal 30 ayat
(2) RKUHP yang mengatakan bahwa pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat
diajukan lagi.
Di
dalam KUHP pada buku I pasal 44-52a tentang Alasan penghapus pidana,
pengurangan dan pemberatan dijadikan dalam satu bab yang juga meliputi alasan
pembenar dan pemaaf. Akan tetapi dalam RKUHP alasan pembenar dan alasan pemaaf
ditempatkan pada sub bab yang berbeda, dimana alasan pembenar terdapat pada sub
bab tindak pidana, sedangkan alasan pemaaf ada pada sub bab pertanggungjawaban
pidana. Hal ini menegaskan bahwa alasan pembenar dan alasan pemaaf dijelaskan
secara terpisah.
Bab
tentang kesalahan sama sekali tidak terdapat/tercantum serta dijelaskan di
dalam KUHP, namun di dalam RKUHP pasal 37 ayat (1) dan (2) mengatur tentang
asas kesalahan itu sendiri dan unsur dari kesalahan (kessalahan dalam arti
normatif/luas). Pasal 37 ayat (1) : tidak seorangpun yang melakukan tindak
pidana dipidana tanpa kesalahan yaitu menekankan bahwa pada prinsipnya bahwa
tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Oleh karena itu apabila bentuk-bentuk
kesalahan seperti dolus/culpa ( kesengajaan/kealpaan) tidak ada, maka seseorang
tidak dapat untuk dipertanggungjawabkan. Pasal 37 (2) : kesalahan terdiri dari
kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan
pemaaf. Dalam KUHP tidak mengatur serta menjelaskan/mendefinisikan mengenai Strict
Liability dan Vicarious Liabilty. Strict Liability adalah dapat dipidananya
seseorang tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya ( actus non facit reum men
sit rea/mens rea), Vicarious Labilty yaitu suatu pertanggungjawaban pengganti,
dimana seseorang ada hubungan khusus, yang akan mempertanggungjawabkan tindak
pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dan dalam RKUHP kedua hal ini diatur di
dalam pasal 38 ayat (1) dan (2).
RKUHP
pasal 39 ayat 1-3 mengatur tentang kesengajaan dan kealpaan sedangkan di dalam KUHP
tidak dijelaskan secara rinci mengenai kesengajaan dan kealpaan.
Di
dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai adanya suatu alasan pemaaf namun di RKUHP mengatur tentang ketentuan tersebut
yang tertuang dalam pasal 42 ayat (1) dan (2) RKUHP, yang mengatur bahwa tidak dipidana,
jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan
unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu
tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Namun
apabila patut dipersalahkan atau dipidana maka maksimum pidananya dikurangi dan
tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.
KUHP
sebenarnya sudah mengatur yang namanya Daya Paksa/Overmacht, akan tetapi tidak
dijelaskan mengenai jenis-jenis dari overmacht (vis absoluta dan vis compusiva).
Sedangkan di RKUHP jenis-jenis overmacht dijelaskan yang dituangkan di dalam
pasal 43 RKUHP, sebagai berikut :
a.
dipaksa
oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan (Via Absoluta) ; atau
b.
dipaksa
oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari (Via
Compulsiva/Daya Paksa Relatif)
RKUHP juga menjelaskan apa saja yang termasuk
dari Alasan Pemaaf yang terdapat dalam pasal 46 RKUHP, sebgai berikut :
a.
tidak
ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b.
pada
waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau
retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c.
belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat
(1).
KUHP tidak mengatur mengatur Korporasi
sebagai Subjek Tindak Pidana namun RKUHP mengatur tentang itu yang mana
tertuang di dalam pasal 47-53 RKUHP. Pasal 47 mengatur bahwa Korporasi
merupakan subjek hukum pidana, Pasal 48 dan 49 mengatur siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan atau dipersalahakan atas tindak pidana korporasi, Pasal
50 mengatur ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana yang dilakukan oleh
korporasi, Pasal 51 mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pidana oleh
pengurus korporasi. Pasal 52 mengatur tentang pengesampingan hukum pidana
(ultimum remidium) apabila telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan
perlindungan yang lebih berguna. Dan pertimbangan tersebut harus dinyatakan
oleh putusan hakim. Pasal 53 mengatur mengenai tata cara mengajukan alasan
pemaaf dan pembenar yang dapat diajukan oleh korporasi.
BAB III mengenai Pemidanaan,Pidana,
dan Tindakan
KUHP
tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi didalam
RKUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang
mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:
a.
mencegah
dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.
memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c.
menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d.
membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
e.
Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
RKUHP
menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak terdapat
di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam
mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang
akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan
dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas Rechterlijk
Pardon (permaafan hakim) dengan
mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan
sebagai
berikut :
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan apakah
direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara
melakukan tindak pidana;
f. sikap
dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat
hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh
pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i.
pengaruh tindak pidana terhadap korban
atau keluarga korban;
j.
pemaafan dari korban dan/atau
keluarganya; dan/atau
k. pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
l.
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pada
pasal 56 RKUHP mengatur tentang Culpa in
Causa, yaitu dimana seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja
memasukkan diri ke dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal
ini tidak 56, sebagai berikut :
seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban
pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang tersebut telah dengan
sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan
pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai perubahan dan penyesuaian
pidana , namun RKUHP mengatur akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat
(1)-(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah
satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki
perilaku terpidana, yang mana dimungkinkan untuk adanya suatu remisi.
Di
dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan
Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RKUHP mengatur tentang hal itu yang
terdapat dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk
memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda
sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi
sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya
menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RKUHP
juga mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal
dan Alternatif.
Lain-lain
ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur didalam pasal
61 dan 62 RKUHP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan ( penintensier ).
RKUHP
pada pasal 63 ayat (1) – (3) mengatur tentang ketentuan waktu permohonan
pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP.
Jenis-jenis
pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10 huruf a
yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan
jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RKUHP yang mengatur
lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana
pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.
Dan
pada pasal 65 ayat (2) mengatur tentang
hierarkhi pemidanaan menentukan
berat ringannya pidana.
Pidana
mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana
ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang paling berat.
Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RKUHP. Ketentuan ini tidak terdapat
dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati
dan tidak menempatkannya pada pasal yang tersendiri.
Mengenai
pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang
terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan
pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana
telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan
pemenuhan
kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal
67 ayat (2) – (5) RKUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana tambahan,
yaitu ; dapat
dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan
berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh
korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak
pidana. Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan
adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Anggota Tentara
Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional
Indonesia.
KUHP
tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RKUHP menjelaskannya lebih
dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu: mengingat keadaan
pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang
melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Begitupun
dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi dijelaskan
dalam RKUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun;
mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat‑syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana
dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus
mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang
dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Pengaturan
mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam KUHP pasal 30 akan
tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada pembaharuan nominal
denda dan adanya nominal minimum dan minimum khusus. Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang
yang wajib dibayar
oleh terpidana berdasarkan
putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda
paling sedikit Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah). Pidana denda paling
banyak ditetapkan berdasarkan kategori,
yaitu: a.
kategori I Rp
6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Masih
terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RKUHP
mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang
juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2)
tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak
mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini
dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RKUHP, pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau
pembubaran korporasi.
Mengenai
Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di
dalam RKUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan perumusan
alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa
mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti yang
dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7)
RKUHP.
Pidana
mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87
RKUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan
dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara terpidana dihukum
mati, sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RKUHP ada hal-hal
yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak
terpidana sampai mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap
wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut
melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru
dapat dilaksanakan setelah
permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pada
pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RKUHP mengatur mengenai penundaan pidana mati
dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda dengan masa percobaan selama
10 (sepuluh) tahun, jika reaksi
masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa
menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan
tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika
terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji
maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk
diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pada
pasal 91 RKUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari 2 ayat.
Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan pasal 91
ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat 1 KUHP.
Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal baru yang tidak diatur
di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi.
Terkait
dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 39-42 , akan
tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana perampasan seperti
yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana
pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak
lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana perampasan barang tertentu
dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan
tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan,
jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Memang
di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan pengumuman putusan hakim, akan
tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran ganti
kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99
ayat (1) dan (2) RKUHP.
Pada
pasal 100 RKUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada masyarakat atau
adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP.
KUHP
tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double
Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini. Double Track
System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana,
dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RKUHP,
yang menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan,
ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya.
Pada
pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP mengatur bahwa sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak
pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal
115 RKUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan
tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan.
Pasal
116 mengatakan bahwa Ketentuan
dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh
hakim. Pidana pokok bagi anak
terdiri atas:
a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut
pada pasal 117) :
pidana peringatan; atau pidana teguran keras;
b.
Pidana
dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana pembinaan di luar lembaga
(diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja sosial
(diatur lebih lanjut dalam pasal 120); atau pidana pengawasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ;
c.
Pidana
denda
(diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau
d.
Pidana
pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124): pidana pembinaan di dalam lembaga
(diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana
penjara
(diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat
dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati; atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut
dalam pasal 127).
Pidana tambahan
terdiri atas:
a.
perampasan
barang‑barang tertentu dan/atau tagihan;
b.
pembayaran
ganti kerugian; atau
c.
pemenuhan
kewajiban adat.
Pada KUHP sebenarnya telah mengatur
mengenai hal yang memperingan dan memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu
bertanggungjawab, belum umur 16 tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa,
ketentuan undang-undang, perintah jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera
kebangsaan dan tentang percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada
bab faktor yang memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada
pasal 132-136 RKUHP. Pasal 132-133 RKUHP mengatur tentang hal yang memperingan
pidana dan hal-hal yang meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan. Faktor yang memperingan pidana meliputi:
a. percobaan melakukan tindak pidana;
b. pembantuan
terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib
setelah melakukan tindak pidana;
d. tindak
pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan
kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;
f. tindak pidana yang dilakukan karena
kegoncangan jiwa yang sangat
hebat; g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39; atau h. faktor
lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan
penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan
pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana
dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Sedangkan pada pasal 134-135 mengatur
tentang pemberatan pidana dan terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan
ditetapkannya maksimum ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai
berikut :
a.
pelanggaran
suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana
yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b.
penggunaan
bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu
melakukan tindak pidana;
c.
penyalahgunaan
keahlian atau profesi untuk melakukan
tindak pidana;
d.
tindak
pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18
(delapan belas) tahun;
e.
tindak pidana
yang dilakukan secara bersekutu, bersama‑sama, dengan kekerasan, dengan
cara yang kejam, atau dengan berencana;
f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam;
g.
tindak pidana yang
dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h.
pengulangan
tindak pidana; atau
i.
faktor
lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. .
Pasal
136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang faktor
yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan ayat yang ke 2
mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat (1). Sebagai
berikut :
(1) Jika dalam suatu
perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama‑sama
maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan
tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2) Berdasarkan
pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai
peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Perihal
perbarengan sebenarnya sudah diatur di KUHP yaitu pasal 63-71. Akan tetapi ada
hal baru yang terdapat pada pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang mengatur tentang,
yaitu lamanya pidana penjara
pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu)
tahun.
BAB IV: Tentang
Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
Mengenai
gugurnya kewenangan penuntutan pidana sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal
76 ( mengatur tentang nebis in idem ), pasal 77 (matinya terdakwa), pasal 78 (
Daluwarsa ). Akan tetapi pada RKUHP terdapat hal baru mengenai gugurnya
kewenangan penuntutan pidana yaitu pada pasal 145:
a.
telah
ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; ( sudah ada )
b.
terdakwa meninggal dunia; ( sudah ada )
c.
daluwarsa; ( sudah ada )
d.
penyelesaian di luar proses;
e.
maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana
denda paling banyak kategori II;
f.
maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.
Presiden
memberi amnesti atau abolisi;
h.
penuntutan
dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan
perjanjian;
i.
tindak
pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.
pengenaan
asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Kewenangan
penuntutan gugur karena daluwarsa sudah diatur pada KUHP pasal 78 tapi ada hal
baru yang tecantum pada pasal 149 ayat (1) huruf b yaitu Kewenangan
penuntutan gugur karena daluwarsa yaitu sesudah
lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang
hanya diancam dengan
pidana denda atau semua tindak
pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Kewenangan
gugurnya pelaksanaan pidana diatur dalam pasal 153 RKUHP, sedangkan di dalam
KUHP hanya mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana pada pasal 84 dan 85. Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika:
a.
terpidana meninggal dunia;
b. daluwarsa eksekusi;
c. terpidana mendapat grasi dan amnesti;
d. rehabilitasi; atau
e.
penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal
154 mengatur tentang perampasan barang apabila terpidana meninggal. Hal ini tidak
diatur dalam KUHP.
KUHP
sebenarnya telah mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana yang dijelaskan
pada pasal 84 ayat (1)-(4). Akan tetapi terdapat hal baru yang terpapar pada
pasal 155 RKUHP ayat (1) dan (4). Yaitu : Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa, setelah berlaku tenggang waktu yang sama
dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per
tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Jika pidana
mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) maka kewenangan
pelaksanaan pidana gugur karena
daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa
kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang
waktu daluwarsa tersebut.
Bab V : Mengatur tentang Pengertian Istilah
Dalam RKUHP lebih banyak istilah
baru yang dimasukkan dibanding dengan KUHP yang relatif sedikit pengertian istilah
yang digunakan.
Pasal 158 RKUHP
mengatur tentang pengertian anak kunci, sebenarnya sudah diatur pada pasal 100
KUHP tapi hal itu mengenai penjelasannya. yaitu: “Anak kunci adalah alat yang
digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer,
kartu magnetik, sinyal, atau frekuensi yang telah diprogram yang dapat
digunakan untuk membuka sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.”
Pasal
160 RKUHP mengatur tentang ancaman kekerasan, yaitu: “Ancaman kekerasan adalah
suatu hal atau keadaan yang menimbulkan
rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.”
Pasal
162 RKUHP mengatur istilah awak pesawat udara, yaitu : “Awak pesawat udara
adalah orang tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau
bawahan.”
Pasal
165 mengatur definisi barang : “Barang adalah benda berwujud termasuk air dan
uang giral, dan benda tidak berwujud, termasuk aliran listrik, gas, data dan
program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa
komputer. “
Pasal
166 RKUHP yang mengatur tentang benda cagar budaya : Benda cagar budaya
adalah:
a.
benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak,
yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya,
yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya
yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun,
serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan;
b.
benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Pasal
170 RKUHP mengatur tentang data komputer “Data komputer adalah suatu representasi fakta-fakta,
informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di
dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu
program yang sesuai untuk memungkinkan suatu sistem komputer untuk melakukan suatu.”
Pasal
172 RKUHP mengatur tentang harta kekayaan : “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.”
“Pasal
173 RKUHP mengatur tentang informasi elektronik : “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan,
suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai
arti.”
Pasal
174 mengatur tentang jaringan telepon, yaitu Jaringan telepon adalah termasuk
jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Pasal
175 RKUHP mengatur tentang definisi kapal yaitu kendaraan air dengan bentuk dan
jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah
permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Pasal
177 RKUHP, menjelaskan tentang kapten pilot : Kapten pilot adalah orang yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang
menggantikannya.
Pasal
178 RKUHP mengatur tentang kekerasan : Kekerasan
adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa
menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan,
nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan
orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal
180 RKUHP mengatur tentang kode akses : Kode
akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang
merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet,
atau media elektronik lainnya.
Pasal
181 RKUHP mengatur tentang definisi komputer : Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau
sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal
182 RKUHP mengatur mengenai korporasi : Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Pasal
186 RKUHP mengatur tentang masuk atau log
in yang artinya masuk
yaitu termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam
sistem komputer.
Pasal
190 mengatur tentang defininisi pejabat, yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh
KUHP pada padal 92 KUHP, akan tetapi RKUHP mengatur lebih rinci. “Pejabat adalah setiap warga negara
Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh
negara, dan digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang meliputi: pegawai negeri; pejabat negara; penyelenggara negara; pejabat publik; pejabat daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau
upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyatakat; pejabat publik asing; atau pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
192 RKUHP mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup: Pencemaran lingkungan
hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pasal
196 RKUHP mengatur tentang penyedia jasa keuangan yaitu: Penyedia jasa keuangan adalah setiap orang
yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga
penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan
asuransi, dan kantor pos.
Pasal
198 RKUHP mengatur tentang perbuatan. Perbuatan adalah termasuk juga perbuatan
yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
Pasal
199 mengatur tentang permainan judi adalah : Permainan judi adalah: a.setiap
permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung pada untung‑untungan
belaka; b.setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebut bertambah besar, karena pemainnya
lebih terlatih atau lebih mahir; c.semua pertaruhan tentang hasil perlombaan
atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut
berlomba atau turut bermain; atau d. pertaruhan lainnya.
Pasal
200 RKUHP mengatur tentang perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan.
Pasal 203 RKUHP mengatur tentang pornografi. Pornografi
adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk
menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau
erotika.
Pasal 204 mengatur tentang ruang:
Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses
dengan cara-cara tertentu.
Pasal
205 RKUHP mengatur tentang definisi setiap orang : Setiap
orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
Pasal
206 RKUHP mengatur tentang sistem komputer yaitu Sistem komputer adalah suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat
perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau
lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik.
Pasal
207 RKUHP mengatur tentang surat yaitu Surat adalah surat yang tertulis di atas
kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam
disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data
elektronik lain.
Pasal
209 RKUHP mengatur tentang pengertian tindak pidana: Tindak pidana adalah
termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan
melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang‑undangan.
sangat membantu :) thank u for posted
ReplyDeleteKalo boleh tau, ini RKUHP tahun brpa ya ?
ReplyDeletekalo boleh tau ni RKUHP tahun brpa ?
ReplyDelete