Friday 25 January 2013

WHISTLEBLOWER dan JUSTICE COLLABORATOR

PERAN WHISTLEBLOWER dan JUSTICE COLLABORATOR dalam PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Tindak  Pidana Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (Ekstraordinary Crime) yang dilakukan oleh perseorangan atau korporasi dan pegawai negeri atau pejabat negara. Tindak pidana/kejahatan ini dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dilakukan dengan berbagai cara. Perbuatan ini erat kaitannya dengan dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana ini banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan mapun pemberian putusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Koruptor-koruptor sepertinya begitu pintar dan licik dalam menyembunyikan perbuatannya hingga para aparatur penegak hukum yang telah memiliki kualitas dan keahlian dibidanganya dalam menangani kasus-kasus kejahatan tidak dapat menemukan atau membuktikan
suatu perbuatan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau yang dapat merugikan keuangan negara tersebut. Padahal koruptor-koruptor tidak memiliki pendidikan khusus korupsi, dibandingkan dengan apara penegak hukum yang masing-masing memiliki keahlian khusus, misalnya Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penyidik yang telah dipersiapkan dengan matang-matang dengan berbagai pelatihan. Alasan yang sering diungkapkan oleh para aparatur ketika menangani kasus korupsi yaitu tidak cukup bukti. Alasan ini sebenarnnya bukanlah alasan yang dapat diterima begitu saja, karena hal ini dapat melemahkan kedudukan masyarakat yang selalu mendukung kinerja aparatur dalam penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Namun pada faktanya, perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia masih lemah karena masih banyaknya koruptor-koruptor yang diputus tidak sesuai dengan harapan dan bahkan ada koruptor yang bebas dari jeratan hukum. Sebuah ironi yang sangat memilukan seperti terkena bencana ketika mendengarkan seorang koruptor harus bebas dari segala tuntutan hukum dan dibiarkan begitu saja berkeliaran menikmati uang negara yang merupakan uang masyarakat Indonesia. Ini merupakan PR bagi masyarakat Indonesia maupun aparatur penegak hukum untuk memberantas Korupsi, agar bersih dari penyelenggara negara ini.

Searah dengan perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia, telah banyak terobosan hukum atau strategi yang digunakan dalam penegakan hukum. Terobosan baru yang digunakan dalam pemberantasan korupsi, seperti pemberian perlindungan hukum bagi setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk beluk tindak pidana yang ia ketahui dan dengar sendiri bahkan ia alami sendiri, terobosan ini biasa dikenal dengan istilah Whistle blower. Lain halnya dengan Justice Collaborator, yaitu pemberian perlindungan hukum yang tidak hanya sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawar, dan ini biasanya diberikan kepada salah seorang tersangka/terdakwa yang perannya paling ringan dapat dijadikan sebagai saksi dalam perkara yang sama dan bisa saja dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Kedua terobosan hukum ini akan saya bahas dalam tulisan saya kali ini, sebagai berikut:

1.             Whistle Blower
Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola ataui olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah “peluit peluit “ diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Dalam perkembangan penegakan pemberantasan korupsi Whistle blower sering disamakan dengan pengungkap aib yaitu istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. Whistleblower berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing, diantaranya ialah :
a.       Amerikat Serikat, whistleblower diatur dalam Whistleblower Act 1989, Whistleblower di Amerika Serikat dilindungi dari pemecatan, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan dan tindak diskriminasi.
b.      Afrika Selatan, Whistleblower diatur dalam Pasal 3 Protected Dsdosures Act Nomor 26 Tahun 2000, Whistleblower diberi perlindungan dari accupational detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan.
c.       Canada, Whistleblower diatur dalam Section 425.1 Criminal Code of Canada. Whistleblower dilindungi dari pemberi pekerjaan yang memberikan hukuman disiplin, menurunkan pangkat, memecat atau melakukan tindakan apapun yang merugikan dari segi pekerjaan dengan tujuan untuk mencegah pekerja memberikan informasi kepada pemerintah atau badan pelaksanaan hukum atau untuk membalas pekerja yang memberikan informasi.
d.      Australia, Whistleblower diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Protected Dsdosures Act 1994.  Whistleblower identitasnya dirahasiakan, tidak ada pertanggungjawban secara pidana atau perdata, perlindungan dari penceraman nama baik perlindungan dari pihak pembalasan dan perlindungan kondisional apabila namanya dipublikasikan ke media.
e.       Inggris, Whistleblower diatur Pasal 1 dan Pasal 2 Public Interes Disclouse Act 1998. Whistleblower tidak boleh dipecah dan dilindungi dari viktimisasi serta perlakuan yang merugikan.


Jika dilihat di Indonesia, pengertian Whistleblower  menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, Whistle Blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistleblower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut. Banyak pandangan-pandangan yang sering mengungkapkan bahwa Whistle Blower merupakan saksi pelapor, atau orang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi atau permufakatan jahat kepada aparatur penegak hukum atau penyidik. Namun sebenarnya seseorang disebut Wistle Blower, apabila memenuhi dua kriteria yaitu:


Whistleblower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. Seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafi a itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi. Dengan demikian, seorang  whistleblower benar-benar mengetahui dugaan suatu pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam suatu kelompok orang terorganisir yang diduga melakukan kejahatan, di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah. Laporan yang disampaikan oleh whistleblower merupakan suatu peristiwa faktual atau benar-benar diketahui si peniup peluit tersebut. Bukan informasi yang bohong atau fitnah.


Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena Whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam didalam institusi di mana ditengerai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang Whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi pidana korupsi dimana ia bekerja. Seorang Whistleblower ini biasanya merupakan orang yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi namun mengetahui tentang terjadinya korupsi atau pemufakatan jahat. Dalam konteks hukum positif kita, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Hak-hak whistleblower yang juga seorang saksi (pelapor) telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Haknya meliputi: Memperoleh perlindungan dari lembaga perlindungan saksi. Bahkan, keluarga  whistleblower pun bisa memperoleh perlindungan. Bentuk perlindungan pun bermacam-macam. Misalnya, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru yang aman (safe house), pelayanan psikologis, dan biaya hidup selama masa perlindungan.
a.       Memberikan keterangan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan yang diketahui dengan bebas, tanpa rasa takut atau terancam.
b.      Mendapatkan informasi mengenai tindaklanjut atau perkembangan penanganan Lembaga Perlindungan Saksi terhadap pelanggaran atau kejahatan yang telah diungkap.
c.       Mendapatkan balas jasa atau reward dari negara atas kesaksian yang telah diungkap karena kesaksian mampu membongkar suatu kejahatan yang lebih besar.
d.      Selanjutnya sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, LPSK juga melindungi whistleblower berupa:
e.       saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata;
f.       saksi yang juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutanpidana apabila ternyata terbukti bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dij adikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dij atuhkan
Selain itu, Wistle Blower juga mendapatkan perlindungan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan secara fisik misalnya terkait dengan penempatan whistleblower di tempat yang aman, perubahan identitas, termasuk perlindungan terhadap keluarga  whistleblower. Melalui perlindungan fisik itu, diharapkan  whistleblower dapat terhindari dari tindakan balas dendam, intimidasi, atau ancaman lainnya. Perlindungan non  fisik menyangkut perlindungan  whistleblower dari resiko pemecatan dari tempat ia bekerja, dikriminalisasikan, pendampingan secara psikologis, dan komunikasi yang efektif dengan lembaga yang menangani laporan untuk memastikan perkembangan penangangan laporan. Sistem perlindungan juga terkait dengan pemberian balas jasa atau reward terhadap whistleblower. Dengan adanya wistle blower ini diharapkan bahwa pengungkapan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini membutuhkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang memadai untuk memberikan penjelasan serta mekanisme tentang adanya whistle blower ini. Serta adanya dukungan dari berbagai pihak seperti lembaga swasta maupun pemerintahan dalam pembentukan lembaga penerimaan laporan dari whistle blower serta memberikan perlindungan.

2.             Justice Collaborator
Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya. Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu : Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
a.       Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
b.      Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud
c.       Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Justice collaborator merupakan setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif. Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1):”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jikaiadapatmembantumengungkap tindak pidana korupsi tersebut.Pasal 52 ayat (2):” Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang pernannya ringan dalam tindak pidana korupsi ….maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.”

Namun dalam Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai baik whistle blower maupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”. Perlindungan hukum bagi justice collaborator tidak sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan. Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antikkorupsi 2003 dan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Memberikan Komentar baik berupa Saran atau Kritik atau apapun itu so pastinya dengan sopan !
Semoga Blog ini Bermanfaat
TRIMAKASIH
:)